Pandemi yang melanda Indonesia sejak awal 2020 menyebabkan terjadinya perubahan di berbagai sektor, termasuk sektor ketenagakerjaan. Diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar membuat para pegawai pemerintah maupun swasta harus menerapkan skema bekerja dari rumah (WFH). Setelah dua tahun pandemi melanda, grafik penyebaran Covid-19 kembali melandai sehingga skema bekerja dari kantor (WFO) berangsur mulai diterapkan di beberapa perusahaan. Namun ternyata tidak semua pekerja menyatakan siap kembali bekerja dari kantor.
Laporan Microsoft Corp dalam The Next Great Disruption Is Hybrid Work–Are We Ready? secara global (termasuk di Indonesia), menemukan bahwa sebanyak 83 persen pekerja di Tanah Air menginginkan adanya opsi kerja jarak jauh atau WFH. Selaras dengan temuan PWC Global Crisis Survey 2021 bertajuk Memperkuat Ketahanan sebagai Kunci Kesuksesan di Tahun 2021 yang mengungkap bahwa sejumlah perusahaan kini telah mempermanenkan skema WFH pada karyawannya.
Dari total 2.800 responden pemimpin perusahaan yang mewakili berbagai skala bisnis di 29 industri dan 73 negara, Indonesia merupakan 112 di antaranya. Hasilnya, 50 persen responden yang memimpin usaha di Indonesia menyatakan telah mempermanenkan pola kerja jarak jauh.
Skema kerja jarak jauh di Indonesia sebenarnya bukan hal baru ketika pandemi. Survei Jobstreet Indonesia pada November-Desember 2020 mengungkap bahwa sebelum pandemi 4 persen responden menyatakan telah menerapkan pola kerja jarak jauh. Namun angkanya meningkat menjadi 13 persen ketika pandemi berlangsung.
Sementara responden yang mengkombinasikan bekerja di kantor dan secara jarak jauh (hybrid) selama pandemi meningkat dari 28 persen menjadi 41 persen. Hal sebaliknya justru terjadi pada responden yang bekerja secara penuh di kantor yang turun dari 68 persen menjadi 46 persen.
Artinya, ada pergeseran prioritas skema kerja yang diterapkan, dari sebagian besar di kantor menjadi sebagian besar jarak jauh atau mengombinasikan keduanya. Hal ini terlihat dari jawaban responden terkait harapan penerapan pola kerja jarak jauh mencapai 23 persen dan kombinasi keduanya sebesar 68 persen. Hanya 9 persen responden yang ingin tetap atau kembali bekerja dari kantor.
Kebijakan WFH, Kemacetan Lalu Lintas, dan Kualitas Udara
Meski banyak diminati karena sejumlah kelebihannya, skema bekerja jarak jauh juga memiliki kekurangan, kelemahan, dan tantangan, baik untuk para pekerja, pemberi kerja maupun masyarakat. Hal ini dipaparkan dalam jurnal milik Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Republik Indonesia, The Indonesian Journal of Development Planning Volume IV №2–Juni 2020 dengan judul Bekerja dari Rumah (Working From Home/WFH): Menuju Tatanan Baru Era Pandemi COVID 19.
Lebih lanjut, WFH tidak hanya sekedar isu manajemen kantor, namun juga merambah lingkungan hidup, sosial, transportasi bahkan perkembangan sebuah kota. Tidak mengherankan jika bekerja jarak jauh juga mendapat perhatian pada bidang transportasi, kebijakan publik, dan komunitas bisnis. Dengan alasan akan berpotensi sebagai strategi pengelolaan bangkitan lalu lintas (Travel Demand Management/TDM) untuk mengatasi kemacetan dan meningkatkan kualitas udara.
Namun pada kenyataannya pembatasan sosial dan skema bekerja jarak jauh tidak selalu berbanding lurus dengan harapan terurainya kemacetan hingga peningkatan kualitas udara di perkotaan.
Perubahan rata-rata kecepatan kendaraan memang tampak terjadi di beberapa jalan utama DKI Jakarta. Seperti kendaraan yang melintas di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan mengalami peningkatan kecepatan. Perubahannya mencapai 28,8%. Posisi itu diikuti juga bagi kendaraan yang melewati flyover Kebayoran Lama dan Jalan HR Rasuna Said yang meningkat menjadi 18,1% dan 15%.
Namun di beberapa wilayah justru menunjukkan terjadi penurunan rata-rata kecepatan. Penurunan tertinggi terjadi di Jalan Gajah Mada, kawasan Harmoni, Jakarta Pusat yang berubah hingga minus 16,1%. Artinya, jalanan tersebut justru terpantau semakin padat setelah WFH.
Demikian halnya perubahan kualitas udara yang diharapkan membaik dengan diberlakukannya pembatasan sosial dan WFH. Faktanya berdasarkan riset yang dilakukan Nafas bersama Katadata Insight Center (KIC) dan Komunitas Bicara Udara tidak menunjukkan adanya perubahan kualitas udara yang signifikan.
Beberapa wilayah Jabodetabek justru tampak mengalami peningkatan polusi udara cukup tinggi saat PPKM Juni-Juli 2021. Seperti halnya kandungan PM2.5 di Kelapa Gading naik 21%, Kuningan naik 17%, Bekasi Selatan naik 24%, dan Bogor Barat naik 33%. Hal serupa juga terjadi di wilayah Bintaro, meski kenaikannya tidak terlalu signifikan, yakni 3,4%.
WFH: Antara Produktivitas dan Resiko Burnout
Perubahan tatanan baru selama pandemi berlangsung membuat para pekerja harus mampu beradaptasi. Termasuk tetap produktif meski harus bekerja dari rumah. Produktivitas tersebut pun dicatat oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bidang Ketenagakerjaan. LIPI mencatat sebanyak 78 persen pekerja yang melakukan WFH tetap bisa produktif dengan rentang usia paling banyak adalah 25–29 tahun sebesar 27 persen.
Sementara itu tingkat produktivitas lainnya juga dilaporkan dalam hasil penelitian McKinsey terhadap pekerja mengenai perbandingan antara tingkat kenyamanan dan tingkat produktivitas WFH dan WFO. Dalam laporan tersebut tercatat bahwa 80% pekerja lebih menyukai WFH dan 20% lebih menyukai WFO.
Lebih lanjut, 41% pekerja merasa lebih produktif saat WFH dan 28% merasa memiliki produktivitas kerja yang sama besar, baik dengan WFH ataupun WFO. Kebanyakan pekerja merasa lebih produktif saat WFH karena mereka tidak perlu melakukan perjalanan panjang ke kantor, sehingga merasa lebih segar di waktu pagi hari dan memiliki fleksibilitas dalam mengatur waktu kerjanya.
Sementara itu, 31% pekerja yang merasa lebih produktif saat WFO dibandingkan saat WFH rata-rata disebabkan karena banyak terganggu dengan kondisi dan pekerjaan rumah
Meski sebagian besar pekerja menyukai WFH dan merasa lebih produktif, hal ini tidak menutup kemungkinan dampak buruk dan keluhan yang dialami oleh pekerja selama masa WFH. JobStreet Indonesia mencatat sebanyak 50% pekerja merasa WFH membuat waktu mereka bekerja lebih lama. Kemudian 48% pekerja merasa WFH mengubah jam kerja mereka.
Selain itu, terdapat 47% pekerja yang sudah berumah tangga merasa WFH membuat mereka melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga. Serta hanya 33% pekerja yang merasa bekerja lebih singkat di masa WFH.
Melalui data yang telah dipaparkan sebelumnya bagi sebagian pekerja WFH memang membuat mereka tetap produktif namun hal ini justru memicu terjadinya kelelahan atau burnout akibat waktu bekerja menjadi lebih lama. Terlebih bagi pekerja yang sudah berumah tangga, WFH membuat mereka harus tetap melakukan pekerjaan rumah tangga lebih banyak.
Menurut WHO burnout adalah sindrom yang muncul karena stres selama bekerja. Penyebab burnout dapat berupa kelelahan selama WFH karena tidak bisa memisahkan pekerjaan dengan kehidupan pribadinya. Kesulitan tersebut terkadang membuat para pekerja bekerja lebih dari 8 jam dan berdampak pada performa kinerja karyawan tersebut.
Tidak tertanganinya persoalan ini membuat sebagian pekerja justru mengundurkan diri atau resign. Dilansir melalui laman detik.com data JobStreet mencatat 50% karyawan WFH memiliki pekerjaan yang semakin banyak dan jam kerja yang lebih lama. Hal tersebut pun membuat mereka mengalami kelelahan luar bisa dan memicu terjadinya ‘The Great Resignation’
The Great Resignation atau pengunduran diri hebat adalah fenomena dari sejumlah besar profesional (para pekerja) yang mengundurkan diri di seluruh dunia karena pendekatan terhadap pekerjaan telah berubah dari waktu ke waktu.
Selain kesehatan mental, WFH juga ternyata dapat berdampak pada kesehatan fisik. Hal ini dimuat dalam laman glints.com seperti resiko gangguan pendengaran akibat seringnya menggunakan earphone. Kemudian sakit punggung, atau justru mengalami carpal tunnel syndrome atau sindrom lorong karpal yaitu tangan akan merasa kesemutan, mati rasa, hingga terasa lemah. Resiko lainnya yang mungkin terjadi yaitu gangguan penglihatan hingga meningkatnya resiko diabetes.
Studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dalam jurnal Environmental International pada September 2021. menunjukkan bahwa jam kerja yang panjang menyebabkan lebih dari 745 ribu kematian pekerja karena stroke 53% dan penyakit jantung iskemik 47%. Studi itu mengatakan bahwa para pekerja diketahui memiliki waktu bekerja setidaknya 55 jam dalam sepekan.
Perbincangan di Twitter Dominan Soal WFH
Di Twitter, perbincangan warganet terkait WFH dan WFO cukup masif. Hasil pantauan Netray dengan kata kunci “wfh” dan “wfo” selama periode 01 April 2021–31 Maret 2022 mencapai 23,8 ribu twit. Perbincangan paling tinggi ialah seputar topik WFH, yaitu berjumlah 20,9 ribu twit.
Meski ramai menjadi perbincangan topik WFH didominasi oleh cuitan bersentimen negatif. Hal yang diungkapkan mulai dari keluhan gaji yang dihitung perhari, potongan jumlah gaji, hingga perasaan bosan yang menghantui warganet.
Keluhan ini kemudian menyumbang tren sentimen negatif terhadap topik WFH. Namun sebagian warganet tetap mendukung bekerja dengan WFH. Tidak hanya untuk mengurangi penyebaran virus Covid19 sebagian warganet yang bekerja secara WFH pun merasa nyaman dan berharap dapat bekerja jarak jauh secara permanen.
Lalu bagaimana impresi warganet terkait bekerja dari kantor saat ini? Setelah dua tahun menjalani WFH berikut perbincangan warganet terkait bekerja dari rumah.
Dengan total perbincangan 2.9 ribu cuitan perbincangan terkait WFO pun didominasi oleh cuitan bersentimen negatif. Sebagian warganet tampak sudah merindukan atmosfer bekerja secara WFO. Namun sayangnya munculnya varian Omicron membuat pemerintah meminta perusahaan untuk kembali menerapkan WFH sehingga para pekerja yang ingin kembali ke kantor harus bersabar.
Sebagian warganet menilai WFO memiliki dimensi yang lebih menarik meski penyebaran virus masih menjadi pertimbangan. Menurut warganet mereka tetap membutuhkan bersosialisasi dengan rekan kerja secara langsung. Selain itu keadaan yang kurang kondusif di rumah juga dinilai berpotensi mengganggu produktivitas mereka saat WFH.
Diedit oleh Winda Trilatifah