Efek pandemi yang berkepanjangan ternyata tak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada kesehatan mental individu, salah satunya ialah burnout yang dialami oleh pekerja atau karyawan. Perpanjangan PPKM hingga penurunan status Jabodetabek ke level 3 tentu saja tak memberikan angin segar bagi karyawan sektor non esensial. Hal ini disebabkan oleh kebijakan WFH masih berlaku 100% bagi perusahaan sektor non esensial.
Dikutip dari laman CNN Indonesia, sebanyak 77% netizen Indonesia mengalami burnout saat bekerja dari rumah. Suasana rumah, terhindarnya dari kemacetan, bahkan tidak adanya tuntutan berpakaian rapi ternyata tak menjamin WFH lebih menyenangkan. Justru, WFH di kala pandemi ini memberikan dampak tersendiri bagi para karyawan yang merasa semakin tertekan dengan jumlah pekerjaan yang semakin banyak dan jam kerja yang dirasa kabur atau tidak jelas. Benarkah demikian?
Media Monitoring Netray pun mencoba untuk menelisik seperti apa keluhan masyarakat yang diwakili oleh warganet terkait pekerjaan mereka?
Dari gambar di atas, terlihat kumpulan kosakata yang mendominasi perbincangan warganet perihal topik ini. Yang pertama ialah tabel Top Words, terlihat kata burnout dikelilingi oleh kosakata, seperti kerja, pekerjaan, online, kelelahan, bahkan stres. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena ini sering di-tweet-kan oleh warganet atas permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Selain kata tersebut, terlihat kata hustle, culture, bahkan mental. Dikutip dari laman FK Unair, Hustle Culture merupakan sebuah gaya hidup dimana seseorang merasa bahwa dirinya harus terus bekerja keras dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat, dengan begitu ia dapat menganggap dirinya sukses.
Menilisik Hustle Culture
Hustle Culture pertama kali ditemukan pada tahun 1971, dan semakin menyebar dengan cepat, terutama di kalangan milenial. Dilansir dari Suara, keadaan hustle culture ini dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental dan emosional, seperti burnout, kelelahan, dan lebih berbahaya lagi bisa menyebabkan kematian. Psikolog dari Riliv, Graheta Rara Purwasono mengatakan tren hustle culture ini hampir dialami oleh sebagian besar pekerja di berbagai perusahaan, terutama kalangan generasi milenial yang fresh graduate.
Fenomena ini ternyata sudah dikenal dan banyak dikeluhkan oleh warganet. Terlihat dari pantauan Netray dalam sepekan belakangan ini, terdapat 115 tweets yang berisikan kata kunci hustle culture. Topik ini telah di-tweet-kan oleh 69 akun dengan jumlah impresi mencapai 210. Topik ini diperbincangkan secara fluktuatif selama periode pemantauan dengan puncak perbincangan pada tanggal 23 Agustus 2021.
Dari kumpulan Top Tweets di atas, terlihat beberapa warganet menceritakan tentang keadaaan dirinya yang mulai merasa dampak dari hustle culture bahkan dari mereka juga saling mengingatkan akan bahaya fenomena ini. Hustle culture juga dikaitkan dengan adanya toxic productivity. Menurut Dr. Julie Smith, seorang psikolog klinis dari Hampshire, Inggris, toxic productivity adalah sebuah obsesi untuk mengembangkan diri dan merasa selalu bersalah jika tidak bisa melakukan banyak hal.
Di masa pandemi ini keinginan untuk melalukan yang terbaik tentu saja kian besar. Seseorang yang terbiasa dengan segala aktivitas dan mobilitas sebelum adanya pandemi akan selalu berusaha untuk tetap produktif bahkan tanpa mengenal waktu. Akhirnya, secara tidak sadar seseorang akan terjebak dalam toxic productivity yang berujung hustle culture.
Burnout juga Menyasar Pelajar
Kembali melirik tabel Top Complaint di atas, terlihat kumpulam kosakata yang terindikasi oleh mesin Netray sebagai komplain atau keluhan. Stres, susah fokus, bahkan merasa letih telah di-tweet-kan warganet yang merasa burnout di masa pandemi seperti ini.
Dalam kumpulan tweet pada periode pemantauan, ternyata keluhan terkait burnout tidak hanya dicuitkan oleh warganet yang menyandang status sebagai pekerja. Namun, juga menyasar pada warganet yang merupakan seorang pelajar atau mahasiswa. Dari contoh di atas, dapat kita lihat keluhan salah warganet yang merasa burnout saat menjalani kuliah online. Dalam tweet-nya tersebut akun bernama @surethingCB berkeluh kesah terkait sistem pembelajaran online di tengah pandemi ini.
Seberapa Burnout-kah Netizen Indonesia?
Dalam jejak pendapat yang dibuat oleh CNN, dari 321 partisipan diperoleh angka sebesar 77% netizen Indonesia merasa burnout dengan pekerjaan mereka. Lalu, dalam periode pemantauan yang dilakukan oleh Netray, seberapa banyak topik ini diperbincangkan oleh netizen Indonesia dalam sepekan pemantauan.
Dari pantauan yang dilakukan oleh Netray, topik ini telah diperbincangkan warganet dengan perolehan tweet sebanyak 1.494 dengan total impresi sebanyak 798 ribu. Burnout dan hustle culture di-tweet oleh 731 akun bahkan mampu menjangkau lebih dari 28 juta akun. Dan dengan jumlah sentiment negatif yang telah melebihi 50% dari total tweet menandakan bahwa fenomena ini telah menjadi momok bagi netizen Indonesia.
Kebijakan WFH 100% bagi sektor non esensial di kala pandemi yang berkepanjangan ini memiliki berbagai dampak bagi karyawan, salah satunya ialah burnout. Suasana rumah dinilai lebih rileks ternyata tidak memberikan jaminan bagi pekerja untuk bekerja lebih menyenangkan. Tekanan pekerjaan yang semakin besar serta jam kerja yang terasa longgar menjadi faktor adanya burnout yang berujung hustle culture. Bahkan, fenomena ini tak hanya menyasar pekerja atau karyawan, tetapi juga pelajar yang sedang di masa pembelajaran daring. Dengan adanya berita sekolah tatap muka dan menurunnya status PPKM di beberapa wilayah Indonesia semoga sedikit memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia. Karena pada dasarnya, kesehatan fisik seseorang juga berasal dari kesehatan mental.
Demikian analisis dari Media Monitoring Netray terkait topik burnout di mata netizen. Simak ulasan isu terkini lainnya hanya di https://analysis.netray.id