Penggunaan galon plastik sekali pakai untuk produk air minum dalam kemasan (AMDK) diklaim lebih baik jika dilihat dari sisi kesehatan. Namun hal itu menyisakan persoalan lantaran dianggap makin meningkatkan produksi sampah plastik.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahunnya Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah plastik dan 3.2 ton di antaranya merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Jumlah tersebut membuat Indonesia menempati urutan nomor dua sebagai negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar setelah Cina.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (Indonesia.go.id) menunjukkan pada 2020 total produksi sampah nasional telah mencapai 67,8 juta ton. Artinya, ada sekitar 185.753 ton sampah setiap harinya dihasilkan oleh 270 juta penduduk atau setiap penduduk memproduksi sekitar 0,68 kilogram sampah per hari.
International Coastal Cleanup (ICC) merilis, pada 2019 sebanyak 97.457.984 jenis sampah dengan berat total 10.584.041 kilogram ditemukan di laut. Sembilan dari 10 jenis sampah terbanyak yang mereka temukan berasal dari bahan plastik, seperti sedotan dan pengaduk, alat makan plastik, botol minum plastik, gelas plastik, dan kantong.
Penggunaan plastik sebagai kemasan berbagai produk memang merupakan hal yang lazim ditemukan. Seperti halnya pada AMDK. Namun belakangan hal ini memicu polemik sejak hadirnya brand champagne AMDK sekali pakai. AMDK berupa galon tidak lagi diisi ulang seperti yang selama ini beredar di masyarakat.
Kemunculan produk galon sekali pakai memicu perdebatan. Pasalnya dalam iklan brand tersebut menyebut bahwa galon sekali pakai lebih sehat ketimbang galon isi ulang. Brand tersebut mengklaim botol sekali pakai lebih aman karena bebas kandungan BPA atawa bisphenol A yang berbahaya bagi kesehatan.
Iklan itu kemudian menjadi buah bibir bagi industri AMDK, terlebih iklan itu tayang di televisi. Tak hanya menjadi perdebatan bagi industri AMDK, kemunculan produk ini juga membuat sejumlah aktivis lingkungan turut ambil suara. Belum lagi pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang belakangan mewacanakan adanya standar dengan pelabelan pada kemasan AMDK.
Wacana Pelabelan BPOM Pada Galon Bebas BPA
BPOM berencana revisi Peraturan Kepala BPOM №31/2018 tentang Label Pangan Olahan. Revisi tersebut mewajibkan galon guna ulang untuk mencantumkan label mengandung BPA.
Label BPA free atau bebas BPA, dapat dicantumkan pada produk AMDK selain berbahan polikarbonat (PC), yakni galon sekali pakai berbahan polietilena tereftalat (PET). Sontak, wacana ini pun menimbulkan perdebatan dari berbagai pihak.
Pengusaha AMDK pun turut mengomentari persoalan ini. Munculnya wacana pelabelan yang akan diterapkan oleh BPOM pun dinilai diskriminatif karena hanya membuat peraturan ini khusus untuk perusahaan AMDK guna ulang saja. Hal ini diungkap oleh Willy Bintoro, Pembina Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (ASPADIN).
Dikutip melalui laman kompas.com Willy melihat isu persoalan BPA ini hanyalah persaingan bisnis yang terjadi antara galon sekali pakai dan galon guna ulang. Ia menilai seharusnya BPOM tidak ikut campur dalam masalah ini, apalagi sampai memihak kepada salah satu produk saja.
Penggunaan galon isi ulang tentu bukan hal yang baru dalam masyarakat. Namun munculnya galon sekali pakai dua tahun lalu justru mencuatkan isu terkait BPA. Hal ini menjadi tanda tanya tersendiri bagi pengusaha AMDK dan mempertanyakan mengapa sebelum ada galon sekali pakai, BPOM tidak meributkan soal BPA ini.
Merespon persoalan ini Badan Standardisasi Nasional (BSN) turut angkat suara. BSN menyampaikan pihaknya tidak mempersoalkan pencantuman label mengandung bisfenol-A (BPA) pada galon isi ulang atau GGU.
Dilansir melalui laman ekonomi.bisnis.com Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal, Wahyu Purbowasito mengatakan belum ada ketentuan baku di tingkat internasional bahwa tingkat kandungan BPA pada kemasan polikarbonat (PC) membahayakan kesehatan. Selain itu, dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) galon air minum dalam kemasan (AMDK) belum ada parameter BPA.
Selain itu, Wahyu juga menyoroti dampak lingkungan dari kebijakan itu jika implementasinya mendorong laju konsumsi galon sekali pakai. Pasalnya, menurut Wahyu belum ada analisis dampak lingkungan dari penggunaan galon sekali pakai secara masif dan berkepanjangan.
Apakah Galon Isi Ulang Berbahaya?
Munculnya wacana terkait revisi aturan pelabelan BPA dalam galon guna ulang tentu membuat masyarakat bingung. Terlebih sebelumnya, pada 23 Januari 2021 BPOM sempat merilis ketentuan dan informasi terkait keamanan penggunaan galon guna ulang dalam websitenya.
Dalam press release tersebut BPOM menyampaikan bahwa hasil pengawasan BPOM terhadap kemasan galon AMDK yang terbuat dari Polikarbonat (PC) selama lima tahun terakhir, menunjukkan bahwa migrasi BPA di bawah 0.01 bpj (10 mikrogram/kg) atau masih dalam batas aman.
Selain itu, pada poin berikutnya BPOM juga menyampaikan Kajian Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) menyatakan belum ada risiko bahaya kesehatan terkait BPA karena data paparan BPA terlalu rendah untuk menimbulkan bahaya kesehatan. EFSA menetapkan batas aman paparan BPA oleh konsumen adalah 4 mikrogram/kg berat badan/hari.
Sebagai ilustrasi, seseorang dengan berat badan 60 kg masih dalam batas aman jika mengonsumsi BPA 240 mikrogram/hari. Penelitian tentang paparan BPA (Elsevier, 2017) menunjukkan kisaran paparan sekitar 0,008–0,065 mikrogram/kg berat badan/hari sehingga belum ada risiko bahaya kesehatan terkait paparan BPA.
BPOM juga menyampaikan bahwa beberapa penelitian internasional juga menunjukkan penggunaan kemasan PC termasuk galon AMDK secara berulang tidak meningkatkan migrasi BPA.
Bila mengacu pada press release tersebut penggunaan galon guna ulang tentu aman untuk digunakan. BPOM menjelaskan bahwa galon isi ulang yang banyak digunakan masyarakat, memang mengandung BPA. Walau demikian, kandungan BPA dalam kemasan isi ulang yang beredar itu telah memenuhi syarat ambang batas, yang berarti aman digunakan dan tidak berbahaya bagi kesehatan.
Namun pada 25 December 2021 BPOM menyampaikan ada revisi terhadap aturan penggunaan BPA pada AMDK.
Dilansir melalui laman jpnn.com BPOM tengah merevisi aturan soal penggunaan zat BPA pada air minum dalam kemasan atau AMDK. BPOM menyampaikan bahwa revisi aturan tersebut merupakan upaya BPOM melindungi masyarakat untuk jangka panjang. Selain itu, BPOM juga memastikan revisi aturan soal BPA itu hanya akan menyasar industri besar.
Meski masih mengalami penolakan terkait adanya wacana pelabelan tersebut pemerintah dapat mengatur dan mengedepankan kesehatan masyarakat di atas kepentingan industri. Tak hanya itu, adanya pembinaan terhadap pelaku usaha yang memproduksi pangan atau kemasan pangan aman bagi konsumen sangat diperlukan apabila penerapan regulasi pelabelan BPA ini telah dijalankan.
Paparan Mikroplastik dalam Air Galon Sekali Pakai dan Galon Isi Ulang
Keamanan antara galon isi ulang dengan galon sekali pakai tentu memiliki dampak yang berbeda. Hal ini diamati melalui paparan mikroplastik yang terkandung di dalam kedua kemasan yang sama-sama berbahan plastik. Lalu bagaimana potensi paparan mikroplastik dalam AMDK ini.
Dikutip melalui laman health.detik.com Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia melakukan uji terhadap sampel galon sekali pakai yang beredar di kawasan Jabodetabek dan analisa terhadap sumber mata air. Penelitian tersebut dilakukan pada dua sampel air galon dalam kemasan.
Kemudian hasil dari penelitian tersebut menunjukkan sampel pertama galon sekali pakai memiliki kandungan mikroplastik sebanyak 85 juta partikel per liter atau setara dengan berat 0,2 mg/liter. Sementara kandungan mikroplastik dalam galon sekali pakai sampel kedua, ditemukan sebanyak 95 juta partikel/liter atau setara dengan berat 5 mg/liter.
Hal ini membuktikan bahwa pada galon sekali pakai sekalipun tidak terlepas dari paparan mikroplastik. Lalu bagaimana dengan galon isi ulang?
Dilansir melalui laman health.detik.com Kepala Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia Agustino Zulys mengatakan bila pada galon sekali pakai saja mikroplastik bisa ditemukan, tentunya galon isi ulang bakal lebih banyak lagi.
Memang belum ada penelitian spesifik soal mikroplastik dalam kemasan galon isi ulang. Namun Agustuno mengatakan banyaknya proses yang mengiringi peredaran galon isi ulang di masyarakat, termasuk dalam soal pembersihan berulang-ulang sisi dalam galon hingga transportasinya ke tempat-tempat jauh, menandakan peluruhan polimer alias kehadiran mikroplastik yang lebih besar.
Meski demikian konsumen diharap tetap tenang karena memang belum adanya riset terbaru terkait bahaya paparan mikroplastik dalam tubuh. Komite ahli gabungan FAO dan WHO juga belum mengevaluasi toksisitas mikroplastik terhadap kesehatan manusia. Selain itu, BPOM juga telah memastikan keamanan dan mutu produk air minum dalam kemasan yang beredar di Indonesia sudah diatur oleh Standar Nasional Indonesia (SNI).
Galon Sekali Pakai: Problematik antara Sampah Plastik dan Wacana Kesehatan
Sebagai konsumen kini masyarakat diminta untuk lebih bijak dalam menggunakan produk berbahan plastik. Terutama produk berkategori single use atau sekali pakai. Untuk penggunaan kantong plastik saja, setiap tahunnya terdapat 10 miliar lembar kantong plastik yang terbuang ke lingkungan atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik.
Sebagaimana data yang dirilis oleh Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada tahun 2021 sampah plastik masih menempati urutan kedua komposisi sampah terbanyak di Indonesia setelah sampah sisa makanan.
Dari sepuluh kategori komposisi sampah keberadaan sampah plastik masih memiliki persentase nomor dua tertinggi, yakni sebanyak 15.71%. Persoalan ini semakin sulit diurai ketika penggunaan produk kemasan sekali pakai masih menjadi gaya hidup yang dianut oleh masyarakat. Akibatnya, persoalan terkait sampah plastik terus menumpuk dari tahun ke tahun.
Sementara itu, data dari Waste4Change, Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 175.000 ton per harinya. Akan tetapi dari banyaknya sampah ini, hanya 7,5 persen saja yang mampu didaur ulang dan dijadikan kompos. Sisanya, sebanyak 10 persen sampah ditimbun, lima persen sampah dibakar, dan 8.5 persen tidak terkelola.
Sedangkan Forum Ekonomi Dunia mengatakan, ada sekitar 150 juta ton sampah plastik berada di perairan dunia. Pertumbuhannya pun tak kalah hebat, mencapai 8 juta ton per tahunnya.
Di Indonesia, selama Kuartal I-2021 total sampah botol plastik yang berhasil dikumpulkan PT Inocycle Technology Group Tbk (INOV) adalah 11.600 ton. Sebagian dari jumlah tersebut dikumpulkan melalui Plasticpay, sedangkan sebagian besar berasal dari sampah botol plastik yang dikumpulkan dari pengepul atau aggregator.
Praktis, ringan, dan fungsional membuat plastik memiliki daya tarik tersendiri. Sayangnya, penggunaannya justru mengancam lingkungan dan keanekaragaman hayati. Bagaimana tidak, sampah plastik tersebut setidaknya mengancam 800 spesies,40 persennya adalah mamalia laut dan 44 persen lainnya spesies burung laut.
Dikutip melalui laman Indonesia.go.id setiap tahun di laut Indonesia diperkirakan mendapat kiriman dari darat 70–80 persen sampah plastik bekas konsumsi manusia. Jumlahnya antara 480 ribu-1,29 juta ton sampah plastik dari total 3,22 juta ton sampah yang masuk ke laut dan pesisir.
Hal itu diungkapkan peneliti mikrobiologi laut dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ariani Hatmanti pada seminar International Conference on the Ocean and Earth Sciences (ICOES), yang dilaksanakan secara daring di Jakarta, 19 November 2020.
Munculnya narasi kesehatan pada brand AMDK sekali pakai tentu memunculkan persoalan baru. Terlebih masyarakat kini tengah diajak untuk bertransisi memulai gaya hidup yang tidak merusak lingkungan atau zero waste. Untuk itu penggunaan galon sekali pakai tentu akan merusak tatanan yang tengah dibangun ini.
Merespon persoalan ini, dua organisasi pegiat lingkungan turut ambil suara. Dikutip melalui laman beritasatu.com Walhi dan Greenpeace sepakat untuk mengajak masyarakat untuk tidak menggunakan air minum galon sekali pakai. Sebagai pegiat lingkungan mereka merasa kecewa dengan perlakuan produsen yang menjual produk AMDK galon sekali pakai dengan segala bentuk kampanyenya.
Menurut kedua organisasi tersebut produsen dinilai tidak membantu program pemerintah untuk mengurangi masalah sampah justru menciptakan masalah sampah baru di masyarakat. Dalam kampanye yang dilakukan produser brand tersebut menyampaikan bahwa produk galon sekali pakai cenderung lebih higienis, lebih baik, terutama digunakan saat masa-masa pandemi.
Padahal wacana tersebut dinilai justru bersifat neo destruktif dan akan memperumit masalah sampah plastik di Indonesia. Terlebih, kondisi permasalahan sampah saat ini, terutama cemaran sampah plastik sudah pada tahap yang mengkhawatirkan.
Editor: Irwan Syambudi