Setelah situasi pademi COVID-19 membaik, roda ekonomi kembali melaju. Penyerapan tenaga kerja juga mulai meningkat. Namun tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan tak banyak meningkat. Secara persentase masih ada jurang kesenjangan dibanding TPAK laki-laki.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengungkapkan secara umum ketimpangan gender dalam dimensi pasar tenaga kerja di Indonesia antara laki-laki dan perempuan masing sangat tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari periode Februari 2021, Agustus 2021 hingga Februari 2022, kesenjangan TPAK laki-laki jumlahnya selalu 1,5 lebih banyak dibandingkan perempuan. Data terakhir pada Februari 2022 TPAK perempuan sebesar 54,27% dan laki-laki 83,65%.
Artinya dari 100 perempuan usia kerja di atas 15 tahun hanya ada 54 orang yang bekerja. Sedangkan dari 100 laki-laki usia kerja ada sebanyak 84 orang yang bekerja.
Untuk melihat angka orang yang bekerja, tentu harus dilihat pula seberapa banyak lapangan kerja yang tersedia bagi perempuan. Data BPS menunjukkan lapangan kerja sektor formal sangat didominasi oleh laki-laki. Sedangkan perempuan lebih banyak tersedia pada sektor informal.
Menurut BPS, tenaga kerja formal adalah mereka yang status pekerjaannya buruh/karyawan/pegawai dan berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar. Sementara tenaga kerja informal adalah mereka yang status pekerjaannya berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non pertanian, dan pekerja keluarga/tidak dibayar.
Dalam tiga tahun terakhir lapangan kerja formal untuk perempuan selalu kurang dari 50%. Lapangan kerja sektor formal yang identik dengan jenjang karir dan jabatan itu didominasi laki-laki yang porsinya selalu di atas 50%.
Seperti pada tahun 2021 proporsi lapangan kerja sektor formal untuk perempuan sebanyak 45,48% dari seluruh angkatan kerja perempuan, sedangkan laki-laki 54,54%. Proporsi lapangan kerja untuk perempuan lebih banyak di sektor informal yakni 52,99% dan laki-laki hanya 47,01% dari seluruh angkatan kerja laki-laki.
Sektor lapangan kerja informal yang lebih banyak tersedia untuk perempuan itu misalnya adalah di sektor pertanian dengan persentase sebesar 28%. Kemudian 24% pada sektor perdagangan. Diikuti oleh berbagai sektor lainnya, seperti industri perdagangan 15%, akomodasi makan dan minum 10%, dan jasa pendidikan 8%.
Ketersediaan lapangan kerja bagi perempuan di sektor pertanian, secara riil memang menyerap paling banyak tenaga kerja perempuan. Jenis pekerjaan tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan menyumbang 28% serapan tenaga kerja perempuan.
Selain itu sebanyak 27% tenaga kerja perempuan bekerja di sektor tenaga usaha penjualan dan 21% sektor tenaga produksi atau pekerja kasar dan hanya 11% bekerja sebagai tenaga profesional. Data ini kemudian mendukung bahwa sebagian besar perempuan Indonesia bekerja di sektor informal.
Perempuan Profesional
Meski sektor informal masih tetap penyumbang terbanyak penyerap tenaga kerja perempuan. Namun dalam 5 tahun terakhir, perempuan yang bekerja sebagai tenaga kerja profesional terus meningkat.
Jika pada tahun 2017 persentase perempuan sebagai tenaga kerja profesional sebesar 46%, pada 2021 telah menyentuh angka 50%. Hal ini tentu menjadi kabar baik bagi perempuan Indonesia.
Meski mengalami kenaikan secara persentase sebaran perempuan sebagai tenaga kerja profesional, namu menurut provinsi masih menunjukkan ketimpangan. Memang banyak provinsi yang mengakui perempuan dapat menjadi tenaga profesional, namun capaian titik puncak dan titik terendah memiliki gap yang cukup besar sehingga ketimpangan antara provinsi masih cukup tinggi.
Pada tahun 2021, capaian provinsi yang memiliki persentase perempuan sebagai tenaga profesional tertinggi adalah Sumatera Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan, sedangkan terendah adalah provinsi Papua, Kalimantan Utara, dan Papua Barat dengan rentang antara provinsi dengan capaian tertinggi 59,09% dan terendah sebesar 23,49%.
Di wilayah Barat terdapat 4 provinsi di bawah angka nasional, sedangkan di wilayah Timur terdapat 8 provinsi di bawah angka nasional. Provinsi Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau adalah kelompok wilayah barat yang memiliki persentase perempuan tenaga profesional di bawah nasional. Sedangkan di wilayah Timur Indonesia, Papua, Papua Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, dan Maluku Utara adalah provinsi yang memiliki persentase perempuan sebagai tenaga profesional di bawah nasional.
Hal ini dapat menjadi catatan, bahwa provinsi di wilayah Barat Indonesia seperti DKI Jakarta yang menjadi ibu kota negara dan Jawa Barat yang menjadi provinsi yang cukup dekat dengan ibu kota masih memiliki persentase perempuan sebagai tenaga profesional yang lebih rendah dibanding wilayah-wilayah lain.
Tingkat Pendidikan Angkatan Kerja Perempuan
Pendidikan berkontribusi dalam partisipasi pekerja perempuan. Secara tingkat pendidikan Indonesia tidak memiliki perbedaan peluang lama sekolah antara laki-laki dan perempuan. Namun ditemukan disparitas antara capaian perempuan dan laki-laki sebesar 1:1,1 dimana persentase perempuan lebih kecil yang mengenyam pendidikan minimal tamat SMP (dengan skor 46,8) dibandingkan laki-laki (dengan skor 55,1). Selain itu angka Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) laki-laki menunjukkan lebih tinggi yakni sebesar 8,90 tahun dan perempuan 8,07 tahun.
Artinya, di Indonesia kini lebih banyak laki-laki berpendidikan tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal itu membuat persentase pekerja perempuan berpendidikan SMP ke bawah lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Sedangkan yang berpendidikan SMA dan SMK lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Rendahnya tingkat pendidikan perempuan jika tak diperbaiki maka bukan tidak mungkin akan menyempitkan peluang partisipasi angkatan kerja perempuan, sehingga jurang ketimpangan TPAK perempuan dan laki-laki bisa semakin dalam.
Penyebab Kesenjangan & Bagaimana Perbincangan Warganet Soal Pekerja Perempuan
Terjadinya ketimpangan gender dalam dunia ketenagakerjaan menurut Yeni Nuraeni dan Ivan Lilin Suryono dalam penelitiannya berjudul “Analisis Kesetaraan Gender dalam Bidang Ketenagakerjaan di Indonesia” (2021) dipengaruhi dua hal yakni institusi pemberi kerja dan sosial budaya.
Institusi pemberi kerja masih ada yang menganggap bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang dimiliki oleh pekerja perempuan lebih rendah dari pekerja laki-laki. Kemudian juga anggapan posisi tertentu yang kurang layak diisi oleh perempuan serta masih adanya stigma yang melekat bahwa perempuan kurang produktif.
Sedangkan dari sisi sosial budaya, kesenjangan terjadi akibat kultur patriarki yang masih dianut, sehingga perempuan lebih banyak berperan dalam pekerjaan domestik.
Penyebab-penyebab kesenjangan itu kemudian memunculkan diskriminasi yang banyak diungkapkan dan didiskusikan di ranah publik. Warganet Twitter termasuk yang cukup banyak memperbincangkan topik soal pekerja perempuan.
Berdasarkan pantauan netray.id di Twitter menggunakan kata kunci “pekerja && perempuan, kerja && perempuan, dan cewe && kerja” periode 1 Januari 2022 hingga 13 Juli 2022 total ada 1.478 twit yang muncul yang terdiri dari 289 sentimen positif dan 391 sentimen negatif.
Kemudian jika dilihat secara lebih detail, dalam ribuan twit itu muncul sejumlah kata-kata negatif seperti diskriminasi, kekerasan, ancaman, dan pelecehan. Artinya memang stigma negatif terhadap pekerja perempuan bisa jadi masih terus terjadi karena banyak diperbincangkan.
Perbincangan persoalan pekerja perempuan selama periode pemantauan ini beberapa kali terjadi lonjakan.
Berdasarkan grafik (Gambar 3) tampak selama periode pemantauan terjadi beberapa kali lonjakan perbincangan warganet terkait pekerja perempuan. Salah satu lonjakan tertinggi terjadi pada 7 Maret 2022 dengan topik perbincangan berkaitan dengan ancaman kekerasan dan pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan. Tak hanya itu, melalui grafik (Gambar 3) juga dapat diamati beberapa topik lainnya, seperti gender shaming, buruh perempuan, dan stigma terhadap pekerja perempuan.
Beberapa topik di atas merupakan topik perbincangan warganet di Twitter terkait pekerja perempuan di Indonesia. Topik perbincangan tersebut pun agaknya dapat menjadi gambaran mengenai kondisi pekerja perempuan melalui kacamata warganet. Berikut beberapa cuitan warganet.
Mulai dari pandangan terkait peran ganda bagi pekerja perempuan hingga diskriminasi dan ancaman kekerasan seksual menjadi opini warganet dalam topik ini. Hal ini menunjukkan pekerja perempuan di Indonesia masih dominan mengalami stigma dan saat ini sebagian warganet kerap menyuarakan topik tersebut sebagai bentuk perlawanan.
Sementara sebagian warganet lainnya turut menyuarakan opini mereka terkait RUU KIA yang sempat menuai perdebatan. Pasalnya dalam RUU tersebut mengatur terkait izin cuti hamil yang berubah dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Namun sebagian warganet justru beranggapan bahwa hal ini dapat menjadi bumerang yang memicu pekerja perempuan akan semakin sulit diterima oleh perusahaan.
Pendidikan & Pengapusan Diskriminasi
Stereotipe terhadap pekerja perempuan masih mendominasi perbincangan warganet di media sosial, mulai dari gender shaming, pelecehan, dan kekerasan seksual masih mengancam tenaga kerja perempuan di Tanah Air. Hal ini menjadi salah indikasi yang menunjukkan bahwa masih adanya diskriminasi oleh institusi pemberi kerja serta sosial budaya seperti yang disebut dalam penelitian Yeni Nuraeni dan Ivan Lilin Suryono.
Diskriminasi itu menjadi salah satu faktor yang kemudian menyebabkan ketimpangan TPAK perempuan dan laki-laki. Di luar itu tingkat pendidikan perempuan yang angkanya lebih rendah dibanding laki-laki memang harus ditingkatkan untuk memperluas peluang partisipasi tenaga kerja perempuan.
Editor: Irwan Syambudi