Data penindakan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir. Namun selama periode 2015–2021 ada sejumlah instansi, profesi, dan provinsi yang konsisten terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi.
Jika dilihat data penindakan yang masuk ranah penyidikan yakni yang sudah mengarah atau menuju penetapan tersangka, angkanya sempat merosot. Pada periode 2018 mencapai 199 kasus kemudian turun di dua tahunu berikutya menjadi 145 lalu 91 kasus. Baru pada 2021 kembali naik menjadi 107 kasus yang masuk penyidikan.
Di tengah angka penindakan yang fluktuatif itu, KPK mencatat sejumlah lembaga atau instansi yang konsisten terlibat dalam kasus korupsi. KPK mencatat terdapat 5 lembaga atau instansi yang paling korup selama periode 2015–2021.
Dari kelima instansi tersebut pemerintah kabupaten (pemkab) atau pemerintah kota (pemkot) berada di urutan tertinggi. Rata-rata pertahun selama periode itu ada 55 perkara, puncaknya terjadi pada tahun 2018 dengan jumlah mencapai 114 perkara korupsi.
Dalam periode tujuh tahun terakhir kasus korupsi pemkab/pemkot rata-rata per tahun ada 55 yang ditangani KPK. Kemudian, kementerian dan lembaga menjadi instansi nomor dua terkorup dengan rata-rata 31 kasus per tahun, puncaknya terjadi pada tahun 2018 dengan 47 kasus dan 2019 dengan 44 kasus.
Sementara itu, pemerintah provinsi berada di urutan ketiga dengan kasus terbanyak terjadi pada tahun 2018 dengan total 29 kasus dan mengalami penurunan pada tahun berikutnya. BUMN dan BUMD juga turut masuk dalam lima kategori instansi dengan kasus tindak pidana korupsi terbanyak. Demikian halnya DPR dan DPRD yang berada di urutan kelima.
Kemudian, siapa sajakah aktor yang kerap terlibat dalam skandal pencurian uang rakyat ini? Netray mengamati data yang dirangkum oleh KPK dan mengolahnya dalam bentuk grafik di bawah ini.
Berdasarkan data KPK pihak swasta menjadi aktor utama pada kategori profesi atau jabatan. Pada rentang periode tujuh tahun terakhir pihak swasta setidaknya terlibat dalam 251 kasus tindak pidana korupsi.
Terjeratnya pihak swasta dalam tindak pidana korupsi tidak jarang turut melibatkan pejabat pemerintahan. Seperti OTT Bupati Bekasi, Neneng Hassanah Yasin yang dilakukan oleh KPK pada Minggu, 14 Oktober 2018 lalu. Kasus tersebut melibatkan PT Mahkota Sentosa utama (SMU) yang merupakan pengembang Meikarta dan anak dari PT Lippo Cikarang Tbk.
Selain pihak swasta, anggota DPR dan DPRD menjadi profesi terbanyak dengan total sebanyak 228 pelaku. Puncaknya terjadi pada tahun 2018, pada tahun tersebut KPK menjerat sebanyak 103 DPR dan DPRD.
Demikian halnya pada kategori pejabat Eselon I, II, III yang juga masuk dalam profesi nomor 5 terkorup. Kemudian bupati/walikota di posisi 6 terkorup. Sementara dari 14 kategori profesi pada periode 2015–2021, komisioner dan duta besar menjadi profesi yang paling tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Jawa Timur Paling Korup
Sejak 2004–2020, KPK paling banyak menangani kasus korupsi di wilayah pemerintah pusat ada 409 kasus kemudian di wilayah Pulau Jawa ada 362 kasus.
Data lebih rinci kasus korupsi berdasarkan wilayah pada periode 2015–2021 menunjukkan provinsi pemerintah pusat tetap menjadi paling banyak. Tetapi jika dilihat berdasarkan provinsi maka Jawa Timur tergolong yang paling korup.
Dari 34 provinsi di Indonesia Jawa Timur dan Jawa Barat menjadi wilayah dengan tindak pidana korupsi tertinggi. Dengan perbandingan total Jawa Timur 93 kasus dan Jawa Barat 71 kasus. Diikuti oleh dua provinsi di pulau Sumatera, yakni Sumatera Utara dengan total 68 kasus dan Sumatera Selatan 51 kasus.
Menariknya, pada sebaran data tersebut kasus di tiap wilayah memiliki intensitas yang tinggi pada tahun yang sama. Seperti pada 5 provinsi dengan jumlah kasus terbanyak, pada tahun 2018 kelima wilayah tersebut mengalami peningkatan dalam kasus yang ditindak oleh KPK.
Agaknya 2018 menjadi tahun keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus korupsi di setiap wilayah Indonesia, termasuk Nanggroe Aceh Darussalam dan Kalimantan Tengah.
Kemudian jika dilihat berdasarkan jenis perkara yang ditangani oleh KPK sepanjang 2015–2021, perkara penyuapan menjadi yang paling banyak setiap tahunnya. Selama periode tersebut KPK setidaknya menangani sebanyak 604 kasus penyuapan atau rata-rata 86 kasus per tahun dalam periode tersebut.
Pada urutan kedua jenis perkara pengadaan barang dan jasa juga menjadi kategori perkara yang kerap dijadikan lahan korupsi. Selama periode tersebut KPK menangani sebanyak 155 kasus atau rata-rata 22 kasus pertahun.
Tren Usia Koruptor
Pada semester I tahun 2020 terdapat 1.043 terdakwa korupsi yang disidangkan oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan data yang dikelola oleh ICW terdapat 393 terdakwa yang diketahui rentang usianya. ICW mengklasifikasi rentang usia tersebut menjadi dua bagian, pertama kurang dari 30 tahun dan kedua lebih dari 30 tahun.
Dari 393 tersebut terdapat 14 terdakwa yang berusia di bawah 30 tahun. Sedangkan sisanya sebanyak 379 terdakwa berusia di atas 30 tahun. Artinya, mayoritas usia para terdakwa korupsi masih berada pada rentang di atas kategori usia lebih dari 30 tahun. Namun, di awal tahun 2022 Indonesia baru saja mencetak rekor usia koruptor termuda.
Rekor koruptor berusia termuda yang baru saja dicetak oleh Nur Afifah Balqis di awal tahun 2022. Di usianya yang baru 24 tahun Ia terlibat skandal kasus suap dan gratifikasi senilai Rp112 miliar bersama Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud. Nur Afifah Balqis merupakan Bendahara Umum Partai Demokrat DPC Balikpapan.
Adanya kasus ini seharusnya menjadi pengingat bagi para pemuda untuk dapat meningkatkan integritas dalam memerangi korupsi. Bukan justru terlibat menjadi pelaku kejahatan ini.
Evaluasi Publik Terhadap Pemberantasan Korupsi
Jika dilihat berdasarkan indeks presepsi korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency International, Indonesia mampu meraih poin 40 di 2019, lalu turun jadi 37 poin di 2020. Kemudian pada 2021 naik satu poin menjadi 38 poin, yang membuat Indonesia menempati rangking 96 dari 180 negara.
Masih rendahnya IPK Indonesia, sejalan dengan data hasil survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Survei berjudul Evaluasi Publik Nasional 2 Tahun Kinerja Presiden Jokowi itu menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menilai pemberantasan korupsi saat ini ‘buruk’.
Dari hasil survei tersebut menyatakan bahwa 33,7% responden menilai pemberantasan korupsi buruk dan 14,5% sangat buruk. Selain itu, hanya terdapat 20,6% yang menilai baik dan 4,3% sangat baik. Sementara responden yang menilai kondisi pemberantasan korupsi saat ini pada tingkat sedang sebesar 23,2%.
Pada periode kedua kepemimpinan Jokowi masyarakat menilai adanya upaya terhadap pelemahan kinerja KPK. Penurunan kualitas tersebut pun diindikasi akibat disahkannya RUU KPK pada 2019 lalu meski mengalami penolakan dari berbagai pihak.
Dibentuknya Dewan Pengawas dan adanya peralihan status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap KPK. Akibat aturan tersebut sebanyak 57 pegawai KPK pun resmi diberhentikan karena dinilai tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan. Adapun faktor lainnya yaitu ditunjuknya Firli Bahuri yang melakukan pelanggaran kode etik menjadi Pimpinan KPK.
Sayangnya, perubahan yang terjadi pada tubuh KPK tersebut justru mengurangi integritas KPK kini di mata masyarakat. Bahkan berdasarkan survei yang dilakukan oleh SMRC menilai korupsi di Indonesia di tahun 2021 ‘semakin banyak’ jika dibandingkan dengan tahun 2020.
Masih berdasarkan survei SMRC, mayoritas masyarakat menilai korupsi yang terjadi di tahun 2021 lebih banyak dibanding dengan tahun sebelumnya. Padahal tren penyelidikan kasus oleh KPK justru mengalami penurunan dalam waktu 3 tahun terakhir. Artinya, mayoritas masyarakat justru tak mempercayai penurunan jumlah kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
SMRC melakukan survei secara acak terhadap 1.000 responden melalui wawancara telepon pada 31 Juli-2 Agustus 2021. Survei memiliki tingkat toleransi kesalahan (margin of error) sebesar 3,2% dan tingkat kepercayaan 95%.
Hasilnya 53% masyarakat menilai korupsi di Indonesia semakin banyak dibandingkan tahun 2020. Sementara 31% menyatakan korupsi saat ini sama saja dengan tahun 2020. Sedangkan sebanyak 8% responden yang menilai korupsi di dalam negeri semakin sedikit dari tahun 2020. Sisanya mengatakan tidak tahu atau tidak menjawab.
Editor: Irwan Syambudi