Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Indonesia dalam rentang waktu tujuh tahun setidaknya terdapat 2.498 kasus konflik agraria. Tingginya kasus konflik agraria menjadi muara dari perebutan kuasa atas tanah dan sumber daya alam yang melibatkan banyak pihak dan regulasi. Lantas bagaimana rupa konflik agraria dari berbagai macam perspektif? Simak laporan Netray berikut ini.
Angka Konflik Agraria di Indonesia
Tahun 2017 merupakan puncak terbanyak kasus konflik agraria di Indonesia. Pada tahun tersebut KPA mencatat 659 kasus konflik agraria di berbagai wilayah dengan luasan area konflik mencapai 520.491,87 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 652.738 keluarga. Salah satu kasus yang terkemuka pada tahun tersebut adalah penolakan pabrik dan tambang PT Semen Indonesia di pegunungan Kendeng, Jawa Tengah.
Dibanding tahun 2016, konflik di tahun 2017 ini menunjukkan grafik kenaikan yang cukup signifikan, yakni sebanyak 50%. Akan tetapi jumlah kasus pada tahun 2018 justru mengalami tren penurunan yang hanya berjumlah 410 kasus. Namun penurunan ini bukan berarti menunjukkan konflik agraria mereda.
Konflik agraria di Indonesia masih terus berlanjut hingga tahun berikutnya. Data dari tahun 2019 menunjukkan jumlah konflik mencapai 279 kasus. KPA mencatat pada periode April-September tahun 2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,01 persen, dan letusan konflik agraria pada periode tersebut tercatat sebanyak 133 letusan konflik.
Sementara pada periode 2020, di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai minus 4,4%, ternyata letusan konflik agraria tercatat sebanyak 138. Pada periode ini terjadi 241 letusan konflik agraria akibat perampasan tanah dan penggusuran. Konflik tersebut tersebar di 359 desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.
Dilihat dari jumlah keseluruhan total angka konflik agraria pada tahun 2020 memang mengalami penurunan. Namun, jumlah penurunan tersebut hanya sebesar 14% tentu tidak sebanding dengan minusnya pertumbuhan ekonomi yang turun sebanyak 200%.
Hingga akhir tahun 2021 konflik agraria masih tergolong tinggi. Terjadi 207 letusan konflik agraria di 32 provinsi yang tersebar di 507 desa/kota. Korban yang terdampak mencapai 198.895 kepala keluarga (KK) dengan luas lahan berkonflik 500.062 hektare (ha).
Jika dihimpun selama 2 tahun pandemi (2020–2021), terdapat 448 kejadian konflik di 902 desa/kota. Bila dirata-rata, maka terjadi 18 letusan konflik setiap bulannya. Hal ini menunjukkan fakta bahwa meskipun krisis ekonomi dan berlangsungnya pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, investasi dan kegiatan bisnis berbasis agraria tetap bekerja secara masif dan represif. Krisis multidimensi ternyata tidak menghambat laju konflik dan perampasan tanah milik rakyat.
Sebaran Wilayah Konflik Agraria Semasa Krisis
Pada tahun 2020 KPA sempat merilis data sebaran wilayah yang menunjukkan fakta bahwa Pulau Sumatera menjadi pulau dengan jumlah konflik terbanyak jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Dalam waktu satu tahun setidaknya terjadi 99 kasus konflik agraria di pulau ini.
Provinsi Riau menjadi wilayah dengan jumlah konflik terbanyak. Dengan jumlah konflik mencapai 29 kasus pada tahun 2020. Disusul oleh Provinsi Jambi dengan jumlah konflik agraria sebanyak 21 kasus. Di tempat ketiga terdapat Provinsi Sumatera Utara dengan 19 kasus. Konflik agraria di Pulau Sumatera didominasi oleh konflik dengan perusahaan Hutan Tanaman Industri.
Kemudian pada tahun 2021 sebaran wilayah terjadinya konflik agraria di Indonesia bergeser ke wilayah Jawa Timur dengan ledakan kasus mencapai 30 kasus. Hal ini sebagian besar dipicu oleh percepatan PSN seperti proyek pembangunan infrastruktur dan kawasan industri, pembangunan Tol Tulungagung-Kediri, pembangunan Tol Ring Road Sukodadi yang tersambung dengan Bandara Kediri, dan lain sebagainya.
Provinsi Jawa Barat menempati posisi kedua dengan 17 kejadian konflik. Angka ini naik 100 % dibanding tahun 2020 (8 konflik). Letusan konflik agraria di Jawa Barat juga didominasi oleh PSN, seperti pembangunan Tol Jakarta-Cikampek II, Tol Cisumdawu, Tol Cimanggis-Cibitung, proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, dan lain sebagainya.
Konflik Agraria Berdasarkan Kategori
Untuk mengetahui lebih jauh wajah konflik agraria, Netray mengolah data yang dihimpun melalui KPA dan mengklasifikasi persoalan agraria berdasarkan kategori. Konflik perkebunan mendominasi kategori konflik agraria selama rentang waktu tiga tahun terakhir yakni antara 2019 hingga 2021. Untuk lebih lengkapnya dapat diamati melalui grafik berikut.
Tahun 2020 menjadi puncak konflik perkebunan dengan 122 kasus dari 241 jumlah kasus konflik agraria. Jumlah ini bertambah 37 kasus dari tahun 2019 yang hanya berjumlah 87 konflik perkebunan. Sedangkan pada 2021 jumlah kasus konflik perkebunan hanya berjumlah 74 kasus.
Konflik agraria pada sektor perkebunan memang selalu jadi yang tertinggi sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo. Konflik ini merupakan akibat klaim atau operasi perkebunan negara. Perhatian khusus patut disematkan karena keberadaan konflik yang pada umumnya telah terjadi selama puluhan tahun. Akan tetapi, pada sejarahnya hanya sedikit yang diselesaikan oleh pemerintah.
Padahal program Nawa Cita yang dicetuskan pemerintahan Joko Widodo memiliki visi untuk menyelesaikan masalah ini melalui redistribusi tanah kepada masyarakat dalam kerangka reforma agraria. Hanya saja masih ada ribuan desa, pemukiman, dan tanah garapan yang berada dalam status konflik dengan PTPN.
Salah satu konflik agraria yang menonjol dari kategori perkebunan terjadi pada 18 Maret 2020 ketika PTPN XIV mengeluarkan surat edaran yang meminta petani di Kampung Likudengan, Desa Uraso, Kecamatan Mappedeceng, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan meninggalkan tanah pertanian dan kampung mereka. Pihak PTPN mengklaim tanah tersebut masuk ke dalam HGU mereka.
Kategori kritis selanjutnya adalah konflik agraria yang disebabkan oleh pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Terjadi peningkatan yang signifikan pada tahun 2021 jika dibandingkan dengan tahun 2020. Yakni dari 30 kasus menjadi 52 kasus, atau meningkat 73 %. Tetapi hal ini masih belum seberapa jika dibandingkan dengan jumlah konflik di tahun 2019 yang apabila dua tahun tersebut dijumlahkan, hasilnya masih kurang satu angka.
Konflik agraria terkait PSN terbanyak diakibatkan oleh pembangunan jalan tol dengan 16 kasus dan pembangunan pembangkit listrik 8 kasus. Lalu ada juga konflik akibat pembangunan bandara, jalur kereta api cepat, bendungan, dan fasilitas pariwisata.
Seperti halnya catatan KPA yang melaporkan selama dua tahun terakhir terjadi kenaikan konflik agraria yang signifikan di sektor pembangunan infrastruktur sebesar 73% dan pertambangan sebesar 167%. Salah satu konflik agraria yang mencuat ke publik pada lintas tahun tersebut yaitu, sengketa lahan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat dan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener, Jawa Tengah.
Pertambangan juga menjadi kasus konflik agraria yang patut mendapat perhatian khusus. Selain karena nilainya meningkat sebanyak 167 persen antara tahun 2020 ke 2021, aktivitas pertambangan kerap memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar wilayah tambang.
JATAM melaporkan bahwa terdapat ribuan lubang tambang yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Lubang tambang yang seringnya dibiarkan begitu saja kerap memakan korban jiwa dari penduduk sekitar. Ekosistem yang menopang keanekaragaman hayati juga terganggu karena perusahaan tambang enggan mereklamasi area galian mereka.
Kekerasan dan Kriminalisasi dalam Konflik Agraria
Konflik agraria juga memiliki tendensi kekerasan sebagai ekses penggunaan kekuasaan sebagai upaya meredam konflik. Pada titik ini tak jarang konflik yang terjadi bisa berujung kriminalisasi atau malah melayangnya nyawa. Berdasarkan catatan KPA pada tahun 2020, sebanyak 134 orang menjadi korban tindakan kriminalisasi dalam konflik agraria. Terdiri dari 132 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Kemudian, 19 orang yang terdiri dari 15 laki-laki dan 4 perempuan mengalami tindakan kekerasan fisik atau penganiayaan dan 11 orang dinyatakan meninggal dunia.
Sepanjang tahun 2021, KPA mencatat sedikitnya terjadi 150 kasus kriminalisasi yang menimpa pejuang hak atas tanah di Indonesia, mulai dari petani, masyarakat adat hingga aktivis agraria. Dari 150 korban kriminalisasi tersebut, laki-laki sebanyak 125 orang dan 25 orang perempuan. Sebanyak 51 (44 laki-laki dan 7 perempuan) mengalami penganiayaan, 2 orang tertembak dan 3 orang tewas di wilayah konflik agraria. Dibandingkan tahun 2020, terdapat kenaikan kasus kriminalisasi yang awalnya dari 139 kasus naik menjadi 150 kasus.
Media Sosial Sebagai Sarana Publik dalam Menyuarakan Persoalan Konflik Agraria
Media sosial menjadi sarana bagi publik untuk bersuara terkait isu tertentu, termasuk persoalan konflik agraria. Dengan menggunakan media sosial publik dapat bebas menyampaikan pendapat dan membahas isu yang ramai menjadi perbincangan.
Netray menggunakan pemantauan media sosial untuk mengamati laju perbincangan warganet terkait konflik agraria yang belakangan terjadi di Indonesia. Lantas seperti apa perbincangan warganet terkait hal ini?
Netray melakukan pemantauan sejak 01 Januari 2021 sampai dengan 10 Februari 2022. Selama periode tersebut Netray menemukan sebanyak 17.7 ribu tweet yang didominasi oleh cuitan bersentimen negatif. Adapun jumlah impresi pada topik ini mencapai 3.9 juta dan menjangkau 126.5 juta pengguna akun Twitter.
Selama lebih dari setahun periode pantauan Netray tampak topik ini mengalami lonjakan pada beberapa waktu. Beberapa diantaranya pada 24 April 2021 dengan total perbincangan mencapai 506 cuitan dan didominasi topik seputar konflik agraria yang terjadi di Wadas, Purworejo Jawa Tengah.
Percepatan pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo agaknya memicu sejumlah konflik agraria di sejumlah wilayah. Hal ini selaras dengan data yang dicatat oleh KPA pada 2021 sejumlah kategori konflik agraria mengalami kenaikan yang signifikan.
Tagar #WadasMelawan muncul sebagai penolakan PSN bendungan Bener yang dinilai akan merusak lingkungan di Wadas. Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut pun mengakibatkan suasana konflik semakin memanas hingga sejumlah individu harus berhadapan dengan hukum.
Kemudian, puncak perbincangan lainnya terjadi pada 19 November 2021 dengan total mencapai 710 cuitan. Pada periode ini warganet ramai membahas terkait konflik tanah yang menyeret nama artis Indonesia, yakni Nirina Zubir. Permasalahan yang dialami oleh Nirina Zubir tersebut berkaitan dengan mafia tanah yang marak di Indonesia.
Pada persoalan ini Nirina Zubir menjadi korban mafia tanah yang telah lama meresahkan publik. Namun hal ini juga memantik kontra dari warganet yang menilai adanya perbedaan perlakuan saat warga biasa yang mengalami permasalahan serupa dengan seorang artis yang mengalami persoalan tersebut. Warganet menilai pemerintah tidak berimbang dalam menangani kasus serupa.
Puncak perbincangan berikutnya terjadi pada 09 Februari 2022 dengan jumlah perbincangan mencapai 2,311 cuitan. Pembahasan warganet masih serupa dengan pembahasan pada 24 April 2021, yakni berkaitan dengan PSN di desa Wadas Purworejo Jawa Tengah. Pembahasan topik ini kembali mengalami peningkatan beberapa waktu lalu setelah sejumlah aparat turun ke desa Wadas yang dilaporkan untuk melakukan pengukuran tanah.
Konflik Wadas memang telah berlangsung lama dan menciptakan banyak korban akibat gesekan penolakan antara aparat dan warga lokal. Puncaknya terjadi kembali pada 9 Februari 2022. Masyarakat yang masih menolak PSN di wilayah mereka akhirnya harus bersitegang langsung dengan aparat. Hal ini pun turut menyeret nama Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah yang dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan di desa Wadas.
Warganet pun mengomentari hal lain dari persoalan ini, warganet menilai Wadas bukan satu-satunya konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Ada banyak konflik agraria lainnya yang tersebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Terutama saat ini, saat pemerintah mulai gencar membangun PSN seperti, bandara, bendungan, jalan tol, fasilitas pariwisata, dan lain sebagainya. Berbagai pembangunan tersebut menjadi pemicu meningkatnya sengketa atau konflik lahan kategori infrastruktur pada 2021 yang melibatkan pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat.
Diedit oleh Ananditya Paradhi