Yogyakarta memiliki angka harapan hidup tertinggi di Indonesia dengan rata-rata perkiraan capaian usia hingga 75,04 tahun. Namun ternyata di sisi lain, situasi kesehatan jiwa di Yogyakarta tergolong buruk dengan jumlah penderita gangguan jiwa terbanyak kedua setelah Bali. Sebanyak 10,4% rumah tangga di Yogyakarta memiliki anggota rumah tangga dengan gangguan jiwa skizofrenia/psikosis.
Ironisnya dengan persentase tersebut indikator cakupan kabupaten/kota dengan puskesmas yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa di Yogyakarta tercatat 0,0%. Hal ini menunjukkan meski memiliki angka harapan hidup yang tinggi Yogyakarta masih tak bisa lepas dari gangguan kesehatan jiwa yang angkanya terus meningkat.
Berdasarkan data BPS pada tahun 2021 Yogyakarta menempati urutan pertama provinsi dengan Angka Harapan Hidup (AHH) tertinggi di Indonesia. AHH merupakan rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir. BPS mencatat penduduk Yogyakarta memiliki AHH mencapai 75,04 tahun pada 2021. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata AHH nasional yang mencapai 71,57 tahun.
Sementara itu, berdasarkan indeks kebahagiaan yang dibagikan BPS, Yogyakarta menempati urutan ke 21 dari total 34 provinsi yang ada di Indonesia dengan perolehan poin 71,73. Yogyakarta masuk 15 terbawah bersama Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Jawa Barat yang pada perhitungan AHH keempat provinsi tersebut masuk 5 teratas. Meski demikian, Yogyakarta masih konsisten memimpin apabila dibanding ketiga provinsi tersebut.
Menurut BPS setidaknya terdapat 10 aspek kehidupan yang esensial dan secara substansi merefleksikan tingkat kebahagiaan. Di antaranya kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan.
Selain dapat memberikan gambaran terkait derajat kesehatan suatu masyarakat, AHH dan indeks kebahagiaan juga merupakan salah satu indikator yang menunjukkan perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Baik AHH maupun indeks kebahagiaan menggunakan kesehatan sebagai salah satu indikator penentu.
Kenapa AHH Yogyakarta Tinggi, Tapi Indeks Kebahagiaan Rendah?
Banyak hal yang melatarbelakangi angka harapan hidup di suatu daerah pada posisi tinggi atau rendah. Dikutip melalui laman Repository Universitas Jember keberhasilan program kesehatan dan pembangunan sosial ekonomi menjadi salah satu faktornya. Demikian halnya indeks kebahagiaan yang menjadikan kesehatan sebagai salah satu faktor penentu.
Berdasarkan catatan Kemenkes, setidaknya terdapat 24 indikator kesehatan yang digunakan dalam indeks pembangunan kesehatan masyarakat dan berkorelasi terhadap AHH. Salah satu indikator tersebut yaitu prevalensi gangguan mental.
Meski angka harapan hidup di Yogyakarta paling tinggi, ternyata Yogyakarta memiliki catatan buruk terkait gangguan kesehatan mental masyarakatnya. Berdasarkan data Pusdatin Kemenkes RI, Yogyakarta menempati urutan kedua sebagai wilayah dengan penderita gangguan jiwa tertinggi di Indonesia setelah Bali.
Menurut laporan Riskesdas selama 5 tahun terakhir (2014–2018), angka gangguan jiwa berat mengalami kenaikan cukup tinggi di wilayah D.I Yogyakarta. Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan angka gangguan jiwa berat di DIY masih 2,3 per mil. Sementara pada 2018, angka gangguan jiwa di Yogyakarta menjadi 10,4 per mil.
Dilansir melalui laman Kompas jumlah tertinggi penderita gangguan jiwa berat berada di Kabupaten Kulonprogo sebanyak 4,67 persen, Kabupaten Bantul 4 persen dan kota Yogyakarta 2,14 persen, Kabupaten Gunungkidul 2,05 persen. Sedangkan jumlah terendah ada di kabupaten Sleman 1,52 persen.
Skizofrenia merupakan salah satu penyakit mental yang tergolong gangguan jiwa berat. Menurut studi terbaru Universitas Oxford, penyakit mental yang berat bisa lebih banyak mengurangi harapan hidup seseorang hingga 20 tahun dibandingkan dengan perokok berat yang berpotensi mengurangi angka harapan hidup hingga 10 tahun. Artinya, gangguan jiwa merupakan permasalahan yang membutuhkan penanganan serius.
Situasi Penanganan Gangguan Jiwa di Yogyakarta
Dilansir melalui Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Poli Jiwa Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY pada bulan Januari 2018 sampai bulan Maret 2018, penderita gangguan jiwa yang melakukan rawat jalan sebanyak 5.289 orang.
Dari jumlah tersebut, paling tinggi datang dari Sleman dan Bantul dengan rincian 2.751 dari Sleman, 1.012 warga Bantul, 850 warga Kota Yogyakarta, 273 warga Kulon Progo, dan 183 warga Gunung Kidul. Jika menilik capaian kasus gangguan jiwa di tiap wilayah, Kulon Progo yang memiliki persentase tertinggi justru memiliki catatan warga dirawat di Rumah Sakit Jiwa terendah kedua setelah Gunung Kidul.
Artinya, angka penderita gangguan jiwa tidak berbanding lurus dengan jumlah penderita yang mendapat perwatan. Jika ditelisik lagi, 3 besar pasien gangguan jiwa yang melakukan rawat jalan di Grhasia DIY berada lebih dekat dengan pusat kota Yogyakarta.
Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental Insan mencatat WFMH sebagai bagian dari WHO, menyatakan bahwa kasus skizofrenia tidak dapat lagi dilihat secara individual, namun harus diintervensi dalam skala makro/sistem. Dalam hal ini, sayangnya fasilitas kesehatan yang berupaya menangani persoalan gangguan jiwa belum dapat diakses oleh masyarakat secara menyeluruh.
Dikutip melalui laman Kemenkes, kesenjangan pengobatan (treatment gap) antara masyarakat yang membutuhkan layanan dan yang mendapatkan layanan kesehatan jiwa di negara-negara berkembang termasuk Indonesia sangat besar yaitu lebih dari 90%. Hal ini berarti bahwa hanya kurang dari 10% pasien gangguan jiwa mendapatkan pengobatan. Kesenjangan pengobatan tersebut antara lain disebabkan adanya hambatan dalam akses layanan kesehatan jiwa.
Dari 34 provinsi di Indonesia setidaknya terdapat 11 provinsi dengan cakupan puskesmas yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa. Ironisnya, Yogyakarta yang memiliki persentase penderita gangguan jiwa tertinggi kedua setelah Bali, justru tidak memiliki puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan Jiwa.
Padahal puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di masyarakat yang memiliki peran penting. Puskesmas diharapkan berperan dalam penyediaan layanan kesehatan jiwa yang terpadu dengan pelayanan kesehatan umum. Penyediaan layanan kesehatan jiwa dasar di puskesmas harus tetap dijalankan untuk memenuhi hak dan kebutuhan masyarakat.
Kemenkes mengungkapkan meski sebagian kasus tersebut dapat ditangani di pelayanan kesehatan primer, layanan kesehatan jiwa yang terintegrasi di puskesmas merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (Pasal 34). Undang-Undang ini merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan tugas negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi hak masyarakat di bidang kesehatan jiwa.
Belum menyeluruhnya faskes yang melayani kesehatan jiwa masyarakat juga menjadi penyebab terjadinya peningkatan gangguan jiwa di masyarakat. Hal ini senada dengan pernyataan Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia Etty Kumolowati yang dikutip melalui laman Republika. Ia mengatakan adanya peningkatan signifikan terkait kasus gangguan jiwa berat di Yogyakarta yang ditangani dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, menurut data yang ia amati tren usia penderita gangguan jiwa ini semakin muda.
Faktor Penyebab Tingginya Penderita Gangguan Jiwa di Yogyakarta
Tingginya prevalensi gangguan jiwa berat di Yogyakarta disebabkan oleh berbagai faktor, seperti biologis, psikologis, dan sosial. Dinkes Yogyakarta mengungkap beberapa faktor pemicu masalah gangguan jiwa di DIY, seperti tekanan hidup yang cukup berat, pendidikan anak, media sosial hingga berbagai gim yang secara mudah dapat diakses oleh masyarakat.
Sementara itu, Jurnal Insan Psikologi dan Kesehatan Mental menyatakan bahwa mayoritas gangguan jiwa berat di Yogyakarta disebabkan oleh faktor kesulitan ekonomi. Data BPS menunjukkan, proporsi penduduk miskin di DIY pada bulan September 2021 mencapai 11,91 persen. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di pulau Jawa.
Republika mencatat hubungan antara kemiskinan dan skizofrenia menjadi saling timbal balik. Tak hanya fasilitas kesehatan, pasien gangguan jiwa membutuhkan pembiayaan untuk rehabilitasi agar mereka mampu kembali menjalankan fungsi ekonomi.
Selain faktor ekonomi, menurut data Pusdatin Kemenkes penderita penyakit kronis juga menjadi salah satu kelompok berisiko tinggi mengidap gangguan kesehatan mental. Sebagaimana dilansir melalui laman dinkes.jogjaprov.go.id, peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup, dan efek modernisasi menyebabkan prevalensi penyakit tidak menular mengalami peningkatan pada beberapa tahun terakhir di Yogyakarta.
Hal ini perlu diantisipasi, mengingat dalam artikel milik Kemenkes WHO mengestimasikan depresi akan menjadi peringkat ke-2 penyebab beban akibat penyakit di dunia (global) setelah jantung pada tahun 2020, dan menjadi peringkat pertama pada tahun 2030.
Kesehatan jiwa menjadi persoalan yang akan berdampak luas terhadap seluruh aspek pembangunan di Yogyakarta. Tak hanya itu, dalam hal pengobatannya pun dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Itulah sebabnya, diperlukan penanganan kesehatan jiwa secara lebih serius oleh pemerintah Yogyakarta dengan mempertimbangkan sejumlah faktor penyebab tingginya penderita gangguan jiwa yang menjadi akar masalahnya.
Diedit oleh Winda Trilatifah