Pertumbuhan perusahaan rintisan (startup) di Indonesia melesat setidaknya dalam 10 tahun terakhir, puluhan hingga ratusan startup berdiri tiap tahunnya. Namun dalam beberapa tahun terakhir startup mulai kelimpungan hingga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya. Beberapa di antaranya bahkan memutuskan berhenti beroperasi.
Startup Ranking menempatkan Indonesia sebagai negara kelima dengan jumlah startup terbanyak di dunia. Per Juni 2022 tercatat ada 2.380 startup dan perusahaan berbasis digital di Indonesia. Posisi Indonesia hanya kalah dari Amerika Serikat dengan 70.468, India 12.283, Inggris 6.124, dan Kanada 3.204.
Jika dilihat lebih spesifik Startup Ranking mencatat hingga 14 Juni 2022 Indonesia memiliki 1.861 startup. Jumlah itu terus bertambah, dalam setengah tahun saja 1 Januari-14 Juni 2022 ada 16 startup baru yang berdiri. Namun jika dibandingkan sebelum pandemi Covid-19 mulai menerjang Indonesia di awal 2020, pertambahan startup jauh lebih banyak.
Pada 2021 ada 53 startup baru, 2020 ada 49 startup baru. Kemudian saat sebelum pandemi yakni 2019, startup yang baru berdiri lebih banyak yakni ada 69. Pada 2018 ada 109 startup berdiri, bahkan pada 2017 mencapai 184 startup baru.
Tak jauh beda dengan Startup Ranking, laporan yang dirilis Industri Kreatif Digital Indonesia (MIKTI) pada tahun 2021 terdapat 1.190 startup berdomisili di Indonesia yang tersebar di sejumlah wilayah.
Pertumbuhan startup di Indonesia ternyata tidak hanya berpusat di Jabodetabek melainkan juga di beberapa wilayah lainnya, seperti Malang, Bandung, Yogyakarta, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, MIKTI juga mencatat geliat pertumbuhan startup di Indonesia yang bahkan dimulai sebelum tahun 2010.
MIKTI mencatat sebanyak 7,13% startup di Indonesia berdiri sebelum tahun 2010, kemudian dalam rentang 2010–2015 ada 40,08% dan pada 2016–2020 juga memiliki persentase sebanyak 40,08%. Sedangkan sebanyak 6,64% tidak diketahui tahun berdiri dari perusahaan rintisan yang berdomisili di Indonesia tersebut.
Gelontoran Dana & Rupa-rupa Startup
Google dan Temasek merilis hasil riset tentang investasi usaha startup digital di Asia Tenggara pada Desember 2017, hasilnya sejak tahun 2016 hingga kuartal III 2017, jumlah investasi ke startup digital Asia Tenggara mencapai US$12 miliar. Dari total dana itu, sebanyak 34% atau US$ 4,08 miliar atau setara Rp55 triliun masuk ke Indonesia.
Investasi masuk ke badan usaha startup mulai dari perseroan terbatas (PT) hingga persekutuan terbatas atau comanditaire venootschap (CV). Tercatat startup yang berdomisili di Indonesia berjenis PT dengan persentase sebanyak 51,39%. Sebanyak 7,13% berjenis CV, dan 29,1% belum berbadan hukum. Serta sebanyak 12,38% tidak diketahui jenisnya.
Kemudian dalam kategori skala usaha startup Indonesia didominasi oleh startup berskala mikro 48,1% dan kecil 28,2%. Sedangkan skala menengah ada di urutan ketiga dengan persentase sebanyak 18,5% dan skala besar sebanyak 5,2%.
Sementara, berdasarkan bidangnya terdapat beberapa bidang usaha yang tumbuh subur di Indonesia. Berdasarkan hasil catatan MIKTI startup bidang usaha umum atau general merupakan bidang usaha yang paling banyak digeluti oleh yakni 32,70%. Kemudian di urutan kedua content creator 16,48%, e-commerce 14,59%. Diikuti bidang fintech, digital tourism, edutech, media, healthtech, game developer, agrotech, dan digital logistic.
Banyaknya sebaran jenis bidang usaha itu ternyata tak berbanding lurus dengan banyaknya suntikan dana dari Investor. Bidang usaha umum atau content creator bahkan tak masuk dalam 10 besar bidang yang mendapatkan gelontoran dana.
Dari 10 kategori tersebut fintech menjadi kategori yang paling banyak menggaet investor. Bahkan fintech mampu mengalahkan e-commerce dan media. Hal ini menunjukkan geliat perusahaan berbasis keuangan masih menjadi daya tarik utama pasar startup di Indonesia.
Sementara dilansir melalui laman nextdatacenter.com di tahun 2021, khususnya selama masa pandemi Covid-19, terdapat beberapa sektor yang dinilai paling potensial untuk berkembang. Sektor-sektor tersebut di antaranya yang pertama adalah fintech, kemudian healthtech, e-commerce, logistic, dan edutech.
Gelombang PHK hingga Tumbang: Senja Kala Startup?
Pertumbuhan startup tercatat memang selalu mengalami peningkatan. Namun tidak sedikit pula startup yang akhirnya gulung tikar dan sayangnya tidak ada data pasti yang mencatat berapa banyak yang telah tumbang.
Berdasarkan analisis pemberitaan media online menggunakan kata kunci “startup && tutup”, sepanjang 2022 setidaknya hingga pertengahan Juni ada 305 pemberitaan. Sejumlah pemberitaan menyebut daftar startup yang bertumbangan menutup operasionalnya di Indonesia seperti Airy Rooms, Stoqo, dan Qlapa , Koadim, dan yang terbaru Beres.id.
Sementara itu, sejumlah startup yang masih berdiri mengalami persoalan pelik hingga harus melakukan PHK massal. Bahkan topik ini sempat menjadi perbincangan luas di media sosial Twitter pada beberapa waktu lalu.
Netray memantau perkembangan isu tersebut dan mengamati opini warganet. Hasilnya, PHK massal di beberapa perusahaan startup Indonesia seperti perusahaan LinkAja, Zenius, dan TaniHub terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan membuat warganet merasa resah.
Warganet menduga hal ini merupakan kabar buruk bagi perkembangan startup di Indonesia. Tak hanya itu, hal ini juga memantik opini terkait isu keberlanjutan dari perusahaan startup dan fenomena bubble burst. Laporan selengkapnya dapat diamati melalui hasil artikel Netray berjudul Mengintip Perbincangan Warganet Soal Bubble Burst dan Start-up.
Tak hanya ramai menjadi perbincangan di media sosial. Topik terkait PHK massal tersebut juga ramai menjadi pemberitaan media daring. Berikut beberapa pemberitaan terkait badai PHK yang menerpa startup Indonesia.
Penyebab PHK dalam sejumlah pemberitaan disebut-sebut karena kondisi makro ekonomi yang memburuk beberapa dekade terakhir. Selain itu bakar uang, gaji yang tinggi, fasilitas kantor yang serba wah juga diduga menjadi penyebab startup melakukan PHK.
Tak hanya di Indonesia PHK karyawan startup terjadi secara global. Layoffs.fyi sebuah laman yang mengumpulkan data PHK karyawan startup dari berbagai informasi publik dan pemberitaan selama pandemi Covid-19 mencatat sejak 11 Maret 2022 hingga 12 Juni 2022 terdapat 785 startup yang telah melakukan PHK terhadap 132.024 karyawannya.
Dalam daftar 10 besar perusahaan startup yang memecat karyawannya, mayoritas merupakan perusahan-perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat. Namun startup dengan PHK karyawan terbanyak ada di Istanbul Turki yakni Getir sebuah startup bidang makanan yang memecat 4.480 karyawannya per 25 Mei 2022 sebagaimana dalam laporan Layoffs.fyi.
Gelombang PHK startup tampak signifikan terjadi pada tahun 2020 mencapai 60.082 karyawan. Hal ini dipengaruhi oleh pandemi menyebar ke seluruh penjuru dunia sejak 2019. Kemudian grafik pemecatan tersebut kembali mengalami kenaikan pada Q1 2022 dan Q2 2022 bahkan menyentuh angka 23.211 karyawan.
Secara global sektor yang paling banyak memecat karyawan dalam rentang waktu dua tahun terakhir yakni sektor transportasi. Pada tahun 2020 sektor ini bahkan memberhentikan sebanyak 14.656 karyawan. Kini memasuki pertengahan tahun 2022 sektor ini kembali memberhentikan sebanyak 5.511.
Sementara sampai dengan pada Juni 2022 startup dengan sektor industri makanan menjadi yang paling banyak memecat karyawannya. Bahkan hingga pertengahan tahun ini jumlahnya sudah mencapai 6.650. Angka tersebut lebih banyak dari dampak yang dirasakan pada tahun 2020.
Indonesia yang disebut-sebut sebagai negara kelima dengan pertumbuhan startup terbesar juga mengalami hal serupa. Bahkan untuk startup yang berbasis di Jakarta saja berdasarkan catatan layoffs.fyi terdapat 11 yang melakukan pemecatan karyawan sejak awal pandemi Covid-19.
Startup transportasi Gojek menjadi startup yang paling banyak memecat karyawannya sebanyak 430 orang. Kemudian perusahaan bidang makanan Stoqo memecat 250 atau 100% karyawannya.
Baru-baru ini adalah Zenius, startup bidang pendidikan yang memecat 200 karyawannya pada Mei 2022. Lalu startup bidang pemasaran Lummo yang memecat 150 karyawannya pada Juni 2022.
Persoalan Startup hingga Berujung PHK Massal
Jika kembali pada persoalan startup nasional MIKTI merilis beberapa persoalan utama yang dihadapi para perusahaan rintisan di Indonesia.
Adapun persoalan utama yang dialami oleh startup adalah modal dengan persentase sebanyak 34,1%, kemudian sumber daya manusia (SDM) 18,7%, regulasi 13,3%, market 12,9%, strategi 12,3%, dan fasilitas 8,8%. Baik pada tahun 2017 maupun pada tahun 2019 pendanaan atau modal menjadi persoalan utama yang harus dialami oleh para perusahaan rintisan.
Tumbuh suburnya startup di Indonesia juga membuat persaingan semakin runcing untuk menggaet para investor. Model bisnis startup mayoritas mendapatkan uang dari investor untuk mendorong bisnis. Startup melakukan bakar duit sejalan dengan harapan investor yang menginginkan pertumbuhan bisnis yang baik.
Namun pertumbuhan tersebut tidak selalu baik dan berkelanjutan. Maka ketika uang tersebut habis, startup akan meminta suntikan dana lagi ke investor. Kondisi inilah yang menunjukkan startup tidak kebal terhadap kondisi ekonomi. Saat ekonomi sedang tidak menentu seperti saat ini, investor pun cenderung menahan dananya. Itulah sebabnya startup harus tetap bertahan dengan meminimalkan pengeluaran termasuk dengan mengurangi pegawai.
Itulah sebabnya berdasarkan hasil survei MIKTI pendanaan menjadi problem utama dan aspek yang harus diperbaiki dalam ekosistem perusahaan rintisan. Adapun beberapa aspek lainnya yaitu infrastruktur, jaringan mentor, pasar, regulasi, inkubator akselator, dan lembaga pendidikan. Beberapa aspek tersebut merupakan hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Sementara itu, terkait regulasi pemerintah mengklaim untuk merevisi daftar negatif investasi (DNI) sebagai upaya untuk mengembangkan pertumbuhan startup lokal. Tak hanya itu pemerintah juga menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) final bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang beromzet di bawah Rp4,8 miliar, dari 1% menjadi 0,5% per tahun. Pemerintah juga membebaskan pajak dividen bagi modal ventura yang mau membiayai startup dengan omset hingga Rp50 miliar.
Upaya lainnya yang dilakukan oleh pemerintah pertama yaitu mengembangkan SDM dengan fokus pada pendidikan vokasional. Kedua, menjaga iklim usaha yang kondusif dengan berupaya menjaga perekonomian tetap tumbuh. Ketiga, kebijakan fiskal yang mendukung. Keempat, tersedianya pendanaan. Kelima, memfasilitasi startup dengan regulasi yang mendukung.
Terkait regulasi, Kementerian Kominfo menyatakan telah mengeluarkan kebijakan safe harbour untuk melindungi pemilik, pedagang, dan pengguna platform jual beli online (daring) dari tuntutan hukum melalui Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Batasan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang berbentuk User Generated Content.
Konsep kebijakan ini juga mewajibkan penjual untuk menjaga atau melindungi nama baik produknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dikutip melalui laman jdih.kominfo.co.id untuk menjaga ekosistem pertumbuhan startup di Indonesia pemerintah juga melakukan relaksasi kebijakan. Pemerintah pun akhirnya melakukan deregulasi yang tidak akan mempersulit alur perizinan yang justru akan memperumit pelaku usaha. Sehingga membentuk suatu ekosistem pertumbuhan startup yang ideal. Ekosistem tersebut memudahkan pelaku usaha rintisan ketika bersinggungan dengan regulasi, pendanaan, hingga infrastruktur yang berfokus pada konektivitas, kebijakan, dan kolaborasi.
Dalam laporan MIKTI, berdasrkan survei terhadap ratusan startup dari 20 kota, pemerintah diharap mampu membuka berbagai akses, seperti permodalan, akses pasar, akses SDM, dan akses mentor. Dalam hal ini pemerintah tidak hanya berperan sebagai regulator tetapi juga mengedepankan mindset fasilitator dan akselerator.
Meski tumbuh dengan subur di tengah tren maraknya ekonomi digital, startup di Indonesia juga mengalami berbagai kesulitan. Terlebih suburnya pertumbuhan tersebut justru membuat para investor kian selektif dalam menyokong pendanaan. Itulah sebabnya tidak sedikit dari perusahaan rintisan tersebut yang harus memecat karyawannya untuk dapat bertahan. Bahkan hal ini berpotensi masih akan terus terjadi dalam beberapa waktu ke depan.
Editor: Irwan Syambudi