Isu deforestasi, penebangan hutan secara masif, bukanlah wacana baru di Indonesia. Sejak republik ini berdiri, hutan dianggap sebagai sumber daya yang sangat penting sehingga secara tersirat diatur dalam UUD 45 melalui Pasal 33 Ayat 3. Garis besar undang-undang ini adalah negara menjadi aktor utama dalam menyejahterakan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya alam termasuk hutan.
Aturan tersebut terdengar sangat ideal, tetapi dalam konteks dan penerapannya bisa menjadi sangat problematik. Apabila dikaitkan dengan isu deforestasi, permasalahan muncul atas kontestasi sudut pandang tentang kesejahteraan masyarakat. Hutan Indonesia sudah sangat sering ditebang untuk diambil kayunya atau diubah menjadi lahan perkebunan komoditas lain. Apakah hal ini secara efektif mampu meningkatkan perekonomian masyarakat itu urusan lain. Yang jelas secara berangsur-angsur luasan hutan di Indonesia semakin berkurang.
Lembaga Forest Watch Indonesia (FWI) memperlihatkan data penyusutan luas hutan Indonesia sejak tahun 1990 hingga tahun 2017. Data ini adalah data resmi yang dimiliki oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Apabila diamati dengan sekilas, terlihat bahwa penyusutan hutan di Indonesia setiap tahunnya berkisar di antara angka setengah juta hektar hingga 1,5 juta hektar. Sebagai perspektif, angka 500.000 hektar itu berarti hampir seluas wilayah DKI Jakarta.
Lonjakan tertinggi memang terjadi pada periode 1990 hingga 2000 yang secara resmi tercatat mencapai luasan 3,5 juta hektar. Apabila pembaca masih ingat, hal ini bersamaan dengan krisis ekonomi, sosial, dan politik yang memuncak pada momen reformasi 1998. Di tengah kekacauan negeri, beberapa tangan tak bertanggung jawab menjarah hutan di berbagai wilayah hingga menghasilkan kerusakan yang sampai sekarang tak bisa dibayar dengan lunas. Sangat mungkin luas deforestasi pada masa itu lebih tinggi daripada data resmi pemerintah.
Sikap Pemerintah Indonesia dalam Menjaga Kelestarian Hutan
Setelah hampir dua dekade, pemerintah sejatinya telah menghadirkan banyak cara untuk membalik trend penebangan hutan menjadi positif. Program paling terkenal adalah reboisasi hutan atau yang biasa disebut dengan penghijauan kembali. Program semacam ini mampu menghasilkan sudut pandang baru dalam melihat laju deforestasi. Yakni dengan membagi deforestasi bruto, sebelum dikurangi angka penanaman hutan kembali, dengan deforestasi netto, angka hasil kalkulasi.
Masih merujuk data KLKH, deforestasi netto pada tahun 2019-2020 mengalami penurunan jika dibandingkan pada tahun 2018-2019. Yakni dari 462.460 menjadi 347.001, atau berkurang sekitar 115.459 hektar. Tren ini tentunya harus dipertahankan hingga pada suatu saat nanti angka tersebut mencapai titik ekuilibrium atau justru menunjukan angka negatif. Yang artinya laju reboisasi lebih tinggi dari laju deforestasi.
Akan tetapi, kembali lagi fakta di lapangan tidak seindah gagasan seperti yang diabstraksikan sebelumnya. Pernyataan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar yang tertulis dalam sejumlah tweet beberapa waktu yang lalu menunjukan sikap kontraproduktif terhadap upaya melawan deforestasi. Secara harfiah Menteri Siti Nurbaya Bakar mengatakan bahwa permasalahan deforestasi tidak dapat menghentikan pembangunan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Statistik Perbincangan Isu Deforestasi Warganet Twitter
Pernyataan tersebut tentu saja pada akhirnya mendatangkan sejumlah reaksi dari warganet Twitter. Hal ini terpantau oleh Netray Media Monitoring dalam sepekan terakhir yakni sejak tanggal 3 November hingga 9 November 2021. Netray menemukan sebanyak 18.544 tweet yang diunggah warganet mengandung kata kunci deforestasi. Tweet dengan kata kunci tersebut paling banyak diunggah pada tanggal 5, 6, dan 9 November.
Tweet tersebut mendapat 35,8 juta impresi dari warganet berupa sejumlah respons seperti reply, retweet, dan favorites. Angka ini bisa dikatakan sangat besar sehingga membentuk percakapan yang viral di internet selama sepekan ke belakang. Apalagi diperkuat dengan data bahwa jangkauan tweet yang mengandung kata kunci secara potensial dapat mencapai 111,2 juta akun Twitter berbahasa Indonesia.
Tak dapat dipungkiri apabila wacana penebangan hutan secara masif menjadi isu yang cukup kontroversial. Tak heran apabila kecenderungan sentimen dari tweet yang dibuat warganet mengarah pada satu sisi, yakni sentimen negatif. Dari data yang diakumulasi Netray, tweet dengan sentimen negatif adalah sebanyak 11.709, yang artinya mencapai 50 persen lebih dari keseluruhan tweet. Sedangkan tweet dengan sentimen positif hanya berjumlah 1.527 saja.
Kerusakan Alam Akibat Deforestasi jadi Fokus Perbincangan Warganet
Selanjutnya guna membaca ke mana arah perbincangan tentang isu deforestasi, Netray memanfaatkan fitur Top Words. Terpantau sejumlah kata unik muncul dalam perbincangan seperti banjir, lingkungan, iklim, dan sawit. Mudah ditebak apabila sebagian besar kata ini merepresentasi kekhawatiran warganet apabila deforestasi tidak segera ditangani dengan baik. Yakni kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana alam.
Seperti yang disampaikan oleh sejumlah akun yang menempati posisi tertinggi di grafik Top Accounts. Akun milik jurnalis kawakan @andreasharsono menyebutkan laporan LSM Walhi yakni deforestasi untuk membuka lahan sawit di Sintang, Kalimantan Barat telah mengakibatkan banjir besar selama beberapa hari. Informasi ini didukung oleh tweet dari akun @aik_arif dengan tambahan informasi bahwa banjir di wilayah tersebut telah memakan 2 orang korban meninggal dunia dan puluhan ribu warga menjadi terdampak bencana ini.
Bencana banjir juga terjadi di wilayah Kota Batu, Malang dan secara kebetulan bertepatan dengan tweet dari Menteri Siti Nurbaya. Fakta tersebut ditulis oleh akun @NOTASLIMBOY dan mendapatkan respons yang cukup tinggi dari warganet. Wacana deforestasi atas nama pembangunan yang dibahas dalam tweet Menteri Siti pada akhirnya berujung di isu krisis ekologis seperti yang di-tweet oleh akun @Afutami.
Penutup
Pembangunan besar-besaran tanpa melihat dampak lingkungan adalah mantra yang paling buruk dalam menggaet simpati publik. Kontradiksi atas dua entitas ini sudah menjadi mitos yang melegenda dalam benak masyarakat umum. Meskipun secara sadar diakui bahwa ada hal-hal yang akan dikorbankan guna mewujudkan pembangunan demi kesejahteraan. Namun, melegitimasi pengrusakan alam atas nama pembangunan hanya akan menghadirkan situasi yang lebih kacau di lapangan. Sihir eco-friendly lagaknya masih menjadi jalan keluar yang paling tepat bagi pemerintah kala menjustifikasi segala agenda pembangunan mereka.