Vaksinasi Covid-19 dinilai menjadi salah satu jalan keluar dari pandemi Covid-19 yang hampir berlangsung 2 tahun di Indonesia. Namun selama 1 tahun pelaksanaan vaksinasi Covid-19, capaian vaksinasi hingga dosis kedua masih jauh dari target.
Pemerintah memulai program vaksinasi Covid-19 pertama kali pada 13 Januari 2021. Dalam melaksanakan program ini pemerintah menghadirkan berbagai jenis vaksin yang telah direkomendasikan oleh World Health Organisation (WHO). Melansir dari laman Covid19.go.id, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI telah memutuskan untuk menggunakan 6 jenis vaksin yang telah disepakati melalui perjanjian bilateral dan multilateral. Berikut jenis-jenis keenam vaksin tersebut;
Dengan menggunakan sejumlah merk vaksin tersebut pemerintah menargetkan 208.265.720 penduduk dapat menerima vaksinasi. Berdasarkan laporan dari Kemenkes RI, per tanggal 12 Januari 2022 capaian vaksinasi penduduk Indonesia adalah sebesar 82.66% vaksinasi 1 dan 56.63% vaksinasi 2.
Jika dilihat lebih detail lagi, sasaran vaksinasi yang masih rendah adalah kategori lansia yang baru mencapai 44 % untuk dosis kedua. Kemudian diikuti kategori masyarakat rentan dan umum yang baru 46 %. Sedangkan untuk tenaga medis dan petugas publik sudah lebih dari jumlah yang disasar.
Sementara itu jika dilihat data per provinsi, masih ada 21 provinsi yang cakupan vaksin dosis kedua masih di bawah 50 persen. Bahkan di provinsi Papua untuk vaksinasi dosis pertama dari 2,5 juta target baru 750 ribu warga yang mendapatkan vaksinasi atau baru sekitar 29 %.
Media Massa Wadah Informasi Vaksinasi
Topik tentang vaksinasi ini cukup mencuri perhatian publik. Isu yang berkembang di tengah masyarakat menjadi acuan terkait pengambilan langkah ‘mau atau tidaknya’ seseorang menjalani program pemerintah ini. Informasi negatif tentang vaksin sering beredar secara luas dan cepat di tengah publik.
Isu ini pun tentu saja menjadi perhatian media massa, yang mana media massa adalah salah satu wadah informasi yang mudah dijangkau oleh khalayak umum. Untuk mengetahui seberapa besar topik vaksin menjadi sorotan media, Media Monitoring Netray memantau hal ini dalam periode pemantauan satu bulan terakhir.
Berdasarkan sentiment trend di atas, pemberitaan mengenai kata kunci vaksin periode pemantauan mengalami fluktuasi. Terlihat dari warna grafik di atas, warna hijau mendominasi sentimen artikel. Artinya, pemberitaan mengenai vaksin yang disuguhkan oleh media massa masih terbilang ke dalam informasi yang bernilai positif.
Seperti gambar peak time di atas, topik yang mengalami puncak pemberitaan di beberapa tanggal pemantauan memiliki isi pemberitaan yang berisikan tentang informasi angin segar terkait vaksinasi. Contohnya adalah pemberitaan antara tanggal 6–9 Desember 2021 didominasi oleh berita terkait upaya pemerintah dalam mengadakan vaksin booster sebagai pengendali varian baru Covid-19.
Selanjutnya di tanggal 13–16 berita positif didominasi oleh pemberitaan tentang program vaksinasi bagi anak-anak umur 6–11 tahun. Program ini mulai digencarkan pemerintah mengingat vaksin yang memenuhi kategori ini telah siap diimplementasikan kepada seluruh anak-anak di Indonesia.
Dua puncak berikutnya ialah 20–23 Desember 2021 dan 3–5 Januari 2022. Berita positif yang disuguhkan oleh media di tanggal tersebut ialah seputar informasi vaksin booster yang dinilai mampu mengendalikan varian omicron. Selain itu, berita positif terkait vaksin booster yang mulai didistribusikan ke beberapa daerah mulai ramai diberitakan media di awal tahun 2022.
Berita Negatif Mempengaruhi Persepsi
Lantas, seperti apa berita negatif yang konon mampu mempengaruhi persepsi masyarakat terkait penerimaan vaksin?
Berdasarkan riset yang dilakukan Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM terkait persepsi masyarakat terhadap Covid-19 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia pengguna layanan digital mengakses informasi Covid-19 melalui lini sosial media. Dan sebanyak 81,5 % diantaranya masih bersinggungan dengan berbagai bentuk postingan yang memuat teori konspirasi.
Menurut riset tersebut, mayoritas masyarakat masih percaya dengan teori konspirasi elite global yang menyatakan bahwa vaksin Covid-19 dibuat demi keuntungan korporasi farmasi, ataupun untuk memasukan microchip dalam tubuh manusia.
Lalu, berdasarkan pantauan Netray, berita terbaru yang disuguhkan oleh media massa tentang salah satu hambatan pemerataan vaksinasi adalah berita yang dimuat oleh BBC Indonesia. Dalam artikel tersebut BBC menuliskan bahwa informasi “setengah-setengah” yang diterima publik menjadi faktor utama penghambat penerimaan vaksinasi. Seperti halnya informasi terkait vaksinasi berbayar menjadi faktor persepsi publik sulit menerima vaksin. Padahal program vaksinasi berbayar tersebut belum ditetapkan oleh pemerintah.
Selain, berita vaksin berbayar, yang menjadi pertimbangan masyarakat ‘mau atau tidaknya’ divaksin ialah berita terkait kehalalan vaksin. Semenjak vaksinasi digenjot pemerintah, pemberitaan terkait kehalalan vaksin mulai merebak di tengah publik. Bahkan hingga saat ini topik halal dan haram tentang vaksin yang beredar di Indonesia masih menjadi bahan pemberitaan media massa.
Penolakan Disuarakan Publik
Informasi hoaks ataupun provokatif sering dijadikan segelintir oknum untuk mempengaruhi orang lain dalam mengambil keputusan soal vaksinasi. Kelompok semacam ini biasanya merupakan orang yang berpengaruh atau lantang bersuara dalam suatu kelompok masyarakat.
Melalui Netray, kita dapat melihat beberapa opini penolakan vaksin yang dilontarkan warganet di Twitter. Dengan kata kunci tolak && vaksin dan periode pemantauan 1 Desember 1 Desember 2021 hingga 12 Januari 2022, ditemukan lebih dari 2 ribu tweet warganet memperbincangkan topik ini dengan potensi jangkauan yang mencapai puluhan juta akun.
Hasil analisis menunjukkan dari 2 ribu lebih tweet, setengah diantaranya merupakan tweet bersentimen negatif. Tweet bersentimen negatif ini yang sebagian lantang menyuarakan penolakan terhadap vaksin Covid-19.
Tweet penolakan vaksin itu digemakan beberapa akun diantaranya dengan alasan meragukan keamanan vaksin bagi vaksin bagi anak-anak. Bahkan salah satu tweet penolakan tersebut berhasil menyedot perhatian warganet lainnya hingga mendapatkan ratusan like dan retweet. Hal ini menunjukkan bahwa pernyataan semacam ini dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang vaksinasi. Berikut adalah beberapa contoh tweet penolakan vaksin:
Selain itu warganet juga mengungkapkan kurangnya kepercayaan terhadap Covid-19 dan keraguan terhadap efektivitas vaksin. Kemudian kebijakan yang mewajibkan vaksin justru menjadi sasaran kritik warganet terkait hak dalam mengambil sebuah keputusan. Tak sedikit warganet yang mengatakan bahwa program vaksinasi ini merupakan program ‘pemaksaan’ yang seharusnya dapat mempertimbangkan suara-suara rakyat yang menolaknya seperti yang diungkapkan dua akun twitter berikut:
Pernyataan Resmi Vaksin Booster Gratis
Berbagai faktor penghambat jalannya program vaksinasi seperti yang telah terpapar di atas, kini mulai dijawab dan diberikan solusinya oleh pemerintah. Salah satunya ialah polemik vaksin berbayar. Capaian vaksin 1 dan 2 yang belum memenuhi 100 persen tentu saja menjadi pertimbangan pemerintah dalam memberikan kebijakan baru terkait vaksin booster atau vaksin ke-3 yang akan segera diselenggarakan.
Melalui kanal Youtube resmi milik Sekretariat Presiden, isu yang awalnya mengatakan vaksin booster berbayar kini telah dijawab Presiden Jokowi dengan menyatakan bahwa vaksin ini diberikan gratis oleh pemerintah. Pernyataan yang diunggah sejak tanggal 11 Januari 2022 ini telah disaksikan sebanyak 16 ribu dengan impresi sebanyak 764 like.
Komentar dengan sentimen positif membanjiri unggahan tersebut. Keputusan pemerintah dalam memberikan vaksin booster gratis dalam rangka mengutamakan keselamatan rakyat menjadi perhatian publik. Ucapan terima kasih atas kebijakan penggratisan tersebut disampaikan oleh warganet kepada Presiden Jokowi di kolom komentar Youtube Sekretariat Presiden.
Penguatan Informasi Modal Penting Vaksinasi
Program vaksinasi yang terus diupayakan pemerintah sebagai langkah penanggulangan pandemi hingga saat ini belum mencapai hasil yang maksimal. Terlihat dari data yang telah disampaikan Kemenkes RI yang melaporkan bahwa 21 provinsi di Indonesia masih dalam angka vaksinasi yang rendah, yakni di bawah 50 persen. Padahal program vaksin booster akan segera digalakkan pemerintah sebagai langkah terbaru dalam mencegah adanya serangan varian baru Covid-19.
Persyaratan penerima vaksin booster yang salah satunya ialah penerima vaksin dosis kedua tentu saja menjadi hambatan program ini berjalan lancar. Berbagai faktor, seperti minimnya informasi terkait keamanan ataupun keefektifan vaksin menjadi salah satu hal yang membuat masyarakat untuk enggan melakukan program ini. Tak hanya itu, informasi hoaks terkait vaksin juga menjadi salah faktor yang menyebabkan segelintir orang justru tidak percaya dengan vaksin.
Media massa sebagai wadah informasi yang mudah diakses publik menjadi salah satu jalan yang mampu menengahi hal ini. Pemberitaan yang konperhensifterkait vaksin ataupun Covid-19 dapat memberikan landasan bagi publik untuk menentukan keputusan.
Editor: Irwan Syambudi