Jumlah penduduk yang mencapai 270,20 juta jiwa dengan populasi 133,54 juta jiwa adalah wanita menjadikan Indonesia pasar menggiurkan bagi industri kecantikan. Tak berhenti di situ, kaum adam yang kini semakin melek terhadap penampilan atau perawatan diri kian membuka lebar pasar industri kosmetik di Indonesia. Data statistik perdagangan produk kosmetik sempat memberikan tren yang positif dalam beberapa tahun belakangan, terutama sebelum pandemi.
Dampak pandemi paling hebat dirasakan dari nilai ekspor yang mengalami penurunan hingga 46% pada 2020. Meski demikian konsumsi dalam negeri tetap bertahan stabil dan berkembang baik. Sebenarnya apa saja yang membuat industri kecantikan Indonesia dapat tetap subur meski di tengah pandemi? Upaya-upaya apa saja yang dilakukan para pelaku industri kecantikan agar bisa beradaptasi dan bertahan dengan poros zaman ini? Netray akan mencoba menjawabnya dalam analisis berikut.
Mengamati Ragam Kategori Produk Kecantikan Kini
Hal yang paling mudah disadari terkait perkembangan industri kecantikan di Indonesia adalah bahwa kini jenis produk kosmetik terus bertambah, baik dari segi jumlah maupun ragamnya. Untuk mendapat gambaran terkait kondisi tersebut, Netray mengamati kategori yang dijadikan landasan sejumlah marketplace dalam memasarkan produk kecantikan Indonesia.
Tokopedia, salah satu marketplace yang menyediakan beragam kebutuhan umum memiliki 2 kategori perawatan kecantikan, yaitu Kecantikan dan Perawatan Tubuh yang di dalamnya masih dikelompokkan lagi ke dalam 14 kategori turunan yang lebih spesifik. Ada sekitar 13.281.640 total produk yang ditampilkan di laman Tokopedia untuk kategori Kecantikan dan 7.687.909 total produk untuk kategori Perawatan Tubuh.
Sementara Sociolla, salah satu marketplace yang populer dalam memasarkan produk kecantikan di Indonesia memiliki 8 kategori untuk membagi ragam produk perawatan tersebut. Di antaranya adalah Make Up, Skin Care, Bath & Body, Accessories, Hair Care, Men, dan Body Fragrance. Untuk merinci kategori Make Up yang beragam, Sociolla membaginya lagi ke dalam 6 subkategori yang memiliki 14 kategori turunan atau kategori yang lebih spesifik. Setidaknya ada 23.600 total produk yang ditawarkan di laman tersebut.
Selain pengkategorian yang beragam dan semakin spesifik terkait produk, perkembangan industri kecantikan Indonesia juga menunjukkan tren yang baik dalam hal perawatan pria. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Sociolla memisahkan kategori Men dan merincinya lagi menjadi 7 kategori turunan yang lebih spesifik.
Geliat Produk Perawatan Pria
Dari data yang dihimpun Netray pada 16 November 2021, produk yang diiklankan di di laman Sociolla pada kategori Men mencapai 666 produk dari 7 subkategori yang ditawarkan. Meskipun masih kalah jauh dari kategori produk perawatan kecantikan wanita yang mencapai 27 sub kategori, namun adanya pembagian kategori Men di laman Sociolla ini menarik. Artinya Sociolla tidak lagi hanya jadi marketplace incaran kaum hawa tapi juga kini kaum adam.
Jenama seperti Garnier, Ponds, Biore telah sejak lama memiliki produk perawatan khusus pria, tapi sebagian besar hanya menyasar pada perawatan dasar, seperti sabun cuci muka atau pelembab. Sementara kini, brand kosmetik pria terus bermunculan dan berdiri sendiri demi memenuhi kebutuhan perawatan pria yang juga memiliki peluang besar di masa depan.
Geliat pertumbuhan kosmetika pria ini kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan kawakan seperti PT. Paragon Technology and Innovation dengan meluncurkan brand Kahf pada tahun 2020 lalu. Hal ini menunjukkan adanya strategi adaptif yang dilakukan oleh PT Paragon agar tidak tenggelam dengan banyaknya brand kosmetik baru yang terus bermunculan. Hal serupa juga dilakukan oleh brand skincare lokal MS Glow yang kini juga memiliki paket perawatan pria bernama MS Glow For Men.
Pengkategorian produk di laman Sociolla tadi sebenarnya hanya membagi kelompok berdasarkan jenis atau spesifikasi produk. Sementara yang tidak terlihat secara langsung namun dapat diamati adalah bahwa tren industri kecantikan sebenarnya juga tengah dan masih mencoba menjawab kebutuhan konsumen yang beragam. Heterogenitas konsumen bisa didasarkan pada faktor demografi, psikologi, psikografi, geografi, dan sebagainya. Mereka bisa berbeda dari segi usia, jenis kelamin, pekerjaan, gaya hidup, budaya, kelas sosial, pendapatan, hingga persepsi.
Remaja dan Umat Muslim, Masih Jadi Target Pasar Menggiurkan
Industri kecantikan saat ini tampak berlomba-lomba menyentuh berbagai segmen mulai dari usia remaja hingga paruh baya dengan beragam produk dan brand yang ada saat ini. Berdasarkan data yang Netray olah dari laman review Sociolla terlihat bahwa meskipun tidak banyak, konsumen di usia lebih dari 40 tahun terlihat masih masuk dalam target pasar industri ini. Demikian pula dengan usia anak di bawah 18 tahun yang menggunakan perawatan kecantikan ternyata jumlahnya cukup banyak. Meski tentu saja target yang paling menggiurkan masih saja usia remaja rentang usia 19–29 tahun.
Tak hanya itu, demografi Indonesia yang menunjukkan mayoritas umat Muslim juga mendukung tumbuh suburnya industri kosmetik halal di Indonesia. Menurut Google Trends, pencarian ‘halal makeup products’ terus meningkat setiap harinya sejak 2013. Hal ini melahirkan kesimpulan bahwa permintaan untuk produk kosmetik ini terus meningkat.
Laporan dan studi ‘Saudi Arabia Halal Cosmetics Market Forecast and Opportunities 2020’, memprediksikan bahwa pasar kosmetik halal akan terus berkembang sebanyak 15 persen untuk lima tahun ke depan. Ditambah dengan kewajiban bersertifikat halal oleh BPJPH yang salah satunya menginstruksikan sertifikat halal bagi produk kosmetik di Indonesia. Instruksi yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal ini mulai diberlakukan sejak 17 Oktober 2021.
Untuk melihat seberapa penting label halal bagi konsumen, Netray mencoba mengamati perbincangan topik dengan keyword halal di laman Female Daily. Hasilnya, ada 54 perbincangan yang membahas topik seputar produk/brand halal. Ini menunjukkan bahwa label ‘halal’ pada produk kecantikan juga menjadi salah satu hal yang diperhatikan dan menjadi pertimbangan dalam memilih produk.
Membaca Kebutuhan Konsumen Melalui Permasalahan Kulit
Lahan lain yang menjadi peluang industri kecantikan adalah terkait kebutuhan konsumen yang beragam. Dahulu tren kecantikan yang mendominasi adalah kulit putih berseri sehingga produk pemutih dan pencerah menjadi yang paling laku di pasaran. Sementara kini, cantik tak melulu soal kulit putih tetapi juga kulit sehat dan bersinar. Maka tak heran apabila kini banyak produk kecantikan yang semakin detail menjabarkan spesifikasi guna produk. Berikut gambaran beragam permasalahan spesifik yang paling banyak dicari oleh konsumen di laman Sociolla.
Industri kosmetik di Indonesia kini juga tak hanya berfokus pada spesifikasi produk berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas sosial, ataupun kebutuhan konsumen yang didasarkan pada permasalahan kulit, tetapi juga mulai menyasar pada faktor psikologis konsumen. Kini masyarakat semakin peduli terhadap diri sendiri dan lingkungannya sehingga ingredient atau kandungan produk menjadi penting, apakah menggunakan bahan yang halal, alami, dan atau ramah lingkungan? Persepsi tersebut juga menentukan tingkat keputusan konsumen dalam memilih brand atau produk. Maka tak heran apabila produk dengan kandungan halal, bahan alami, dan ramah lingkungan kini pun lebih banyak diminati.
Heterogenitas konsumen yang bersumber dari faktor demografi, psikografi, hingga psikologi seperti yang dicontohkan di atas memberikan peluang besar pada pertumbuhan industri kecantikan di masa depan.
Beauty Enthusiast; Penggerak Roda Industri Kecantikan
Selain menjajaki beragam peluang segmen pasar dan beradaptasi dengan tren yang ada, industri ini sebenarnya turut ditopang oleh laju pertumbuhan influencer kecantikan atau yang lebih jamak disebut beauty enthusiast di Indonesia. Kehadiran beauty enthusiast menjadi jembatan antara brand dengan konsumen. Para beauty enthusiast akan menjelaskan secara detail mulai dari deskripsi produk, kemasan, kandungan, klaim, dan yang paling penting adalah hasil ulasan mereka setelah menggunakan produk tersebut. Ulasan tersebut kini menjadi penting karena kerap menjadi landasan konsumen ketika memilih produk atau brand.
Berdasarkan riset internal Tiktok, ada 45% pengguna yang mengaku tertarik berbelanja produk kosmetik setelah menonton konten produk kecantikan. Data dari ZAP Beauty Index 2018 menunjukkan bahwa perempuan Indonesia mencari referensi produk sebanyak 55% berasal dari media sosial Instagram, kemudian 41,6% dari kanal Youtube dan 40,9% dari beauty blogger/ vlogger. Bahkan, ulasan dari beauty enthusiast tersebut lebih dipercaya dibandingkan dengan ulasan yang diberikan beauty advisor produk yakni 25,7 persen atau kawan terdekat konsumen yakni 38,1 persen.
Sementara itu, Studi Google Insight, Kantar dan WPP periode Agustus-September 2020 menyebutkan, di industri kecantikan Indonesia dan India, 81% konsumen berusia 18–35 tahun berinteraksi dengan brand pilihannya berdasarkan tayangan Youtube. Lalu, 27% memutuskan membeli setelah sedikitnya melihat 2 kali ulasan. Sebanyak 50% konsumen menggunakan Facebook atau Instagram dan 40% menggunakan pencarian online untuk melihat review produk. Hal ini berbeda dengan lima atau delapan tahun lalu, produk kecantikan umumnya dibeli di toko dengan rekomendasi oleh stan kecantikan.
Netray mencoba melihat tren pembelian produk yang di-review di laman Female Daily pada 24 November 2021. Hasilnya, dari 1000 ulasan konsumen, 3,8 ribu di antaranya melakukan pembelian di marketplace Shopee kemudian Instagram. Bahkan, dari Top 10 Purchase Point berikut, terlihat bahwa pembelian di laman online lebih mendominasi ketimbang di gerai konvensional.
Data Dentsu Aegis pun menunjukkan, persepsi Gen-Z terhadap brand meningkat hingga 42% ketika sebuah merek menggunakan Instagram untuk membangun engagement dengan konsumennya. Sehingga, dia menilai media sosial merupakan saluran terbaik dalam melihat perilaku konsumen setiap harinya. Hal ini karena komunitas masyarakat di Asia Tenggara kisaran umur 18–30 tahun melakukan validasi melalui media sosial per hari. Artinya, produsen berpeluang lebih gencar memasarkan produk melalui media sosial berbasiskan data. Sebab data akan memperkuat strategi pemasaran.
Industri Kecantikan Bertahan Stabil Menghadapi Pandemi
Sektor industri ini menunjukkan adaptasi yang tinggi dalam menghadapi situasi pandemi, terutama dengan beradaptasi pada perubahan pola perilaku konsumennya. Pasalnya, pandemi telah menggeser pola belanja dari offline menjadi online. Hal ini terlihat dari data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang menunjukkan peningkatan transaksi online produk body care seperti kosmetik dan spa sebesar 80% di tahun 2020.
Pertumbuhan industri kosmetik di masa pandemi juga dipengaruhi oleh kesigapan industri ini dalam memanfaatkan peluang dengan menambah lini produk penyanitasi tangan sebagai salah satu penunjang pengurangan penyebaran Covid-19. Di Sociolla, hand sanitizer masuk dalam kategori Bath & Body. Ketika artikel ini ditulis, setidaknya ada 29 brand yang turut menjual produk ini di laman tersebut.
Lonjakan penjualan produk kecantikan selama pandemi corona juga dipaparkan oleh Shopee dan Tokopedia. Kedua e-commerce ini mengungkap tren transaksi untuk kategori ini. Tokopedia mencatatkan peningkatan penjualan produk kecantikan hampir dua kali lipat pada akhir tahun lalu. Produk yang paling diminati yakni pembersih wajah, paket perawatan wajah, serum, masker wajah hingga krim wajah.
Brand Kosmetik Lokal Semakin Percaya Diri
Kabar baik selanjutnya di tengah kondisi pandemi saat ini adalah adanya peningkatan penjual atau brand produk kecantikan lokal. Kini semakin banyak merek skin care lokal yang menawarkan beragam produk dengan kualitas yang tidak kalah saing dari merek luar. Founder Somethinc Irene Ursula sepakat bahwa tingkat kepercayaan konsumen Tanah Air terhadap produk lokal meningkat saat pandemi corona.
Berdasarkan data iPrice, brand lokal Somethinc menduduki peringkat teratas dengan total hashtag views sebanyak 57,3 juta di Tiktok. Ini merupakan total views tertinggi yang dicatat brand skincare lokal, diikuti Wardah dengan total hashtag views 17,1 juta. Kedua brand lokal ini sudah mengantongi sertifikasi halal. Di bawah Wardah, ada Avoskin dengan 15 juta views, diikuti oleh Emina dengan total 11 juta hashtag views. Untuk peringkat kelima diduduki oleh Lacoco dengan total 5 juta hastag view.
Bertambahnya tingkat kesadaran masyarakat akan diri sendiri dan lingkungan menambah luas peluang target pasar industri kecantikan. Produk kosmetik kini tak hanya dikonsumsi oleh kaum hawa tetapi juga oleh kaum adam. Geliat pertumbuhan industri ini semakin terang-terangan terlihat dari adanya pemisahan kategori perawatan pria dari perawatan umum wanita. Demikian pula dengan tren kosmetik halal yang tumbuh subur di tengah dominasi umat Muslim dan aturan BPJH di Indonesia.
Meski pandemi sempat menurunkan nilai ekspor Indonesia ke mancanegara, tren konsumsi produk kecantikan dalam negeri bertahan stabil dan cenderung mengalami peningkatan. Transaksi belanja di platform online meningkat terutama terkait dengan produk perawatan tubuh. Penjual atau brand kosmetik lokal pun kian semarak menjajaki pasar seiring dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap brand lokal.