HomeDeep ReportPetani Milenial Terus Tumbuh; Bagaimana Jaminan Kesejahteraan Mereka?

Petani Milenial Terus Tumbuh; Bagaimana Jaminan Kesejahteraan Mereka?

Published on

Petani milenial di bawah usia 36 tahun mengalami tren pertumbuhan tiap tahunnya, namun jumlahnya masih tak sebanding dengan petani usia tua. Para petani milenial dihadapkan pada presepsi pendapatan yang tak menentu.

Pertanian menjadi salah satu sektor utama penyumbang lapangan pekerjaan di Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2021, sebanyak 28% atau sekitar 37,13 juta penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.

Mengutip dari Timmer (2005) dalam penelitiannya yang dipublikasikan FAO, negara yang mampu keluar dari garis kemiskinan tidak terlepas dari dukungan sektor pertanian yang produktif. Artinya sektor pertanian dapat dikatakan sebagai pilar ekonomi nasional yang perlu diperhatikan.

Berdasarkan data BPS, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan masih menjadi pekerjaan utama dengan total 37,1 juta pekerja. Kemudian diikuti sektor industri pengolahan sebesar 14% atau sekitar 18,9 juta penduduk Indonesia bekerja dalam bidang ini. Selanjutnya baru diikuti beberapa bidang pekerjaan penunjang lainnya.

Penduduk Indonesia yang bekerja sebagai petani jumlahnya lebih besar daripada penduduk yang bekerja di sektor lain. Artinya sumber daya manusia yang berkualitas berperan penting dalam membangun sektor pertanian. Memiliki komitmen untuk bekerja sebagai petani juga merupakan faktor keberhasilan perkembangan pertanian di Indonesia.

Potensi Generasi Muda dalam Bidang Pertanian

Dalam jurnal Hari Pangan Sedunia 2020 yang dipublikasikan Kementerian Pertanian (Kementan), regenerasi petani merupakan kunci utama dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu regenerasi petani saat ini tengah menjadi fokus Kementan melalui program petani milenial.

Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/1/2013, Generasi Muda Petani adalah orang yang berusia maksimal 35 tahun mempunyai minat dan terlibat langsung dalam kegiatan pertanian.

Namun yang terjadi di Indonesia, jumlah generasi muda yang tertarik pada sektor pertanian lebih sedikit dari kelompok usia di atas 36 tahun. Hal itu dapat dibuktikan berdasarkan data tiga tahun terakhir dimana jumlah petani muda meskipun angkanya tumbuh tapi jumlahnya tak sebanding dengan petani usia 36 tahun ke atas.

Proporsi petani dengan umur 36–59 tahun mendominasi. Proporsi terbesar kedua adalah kelompok petani usia 60 tahun ke atas, sedangkan generasi muda dengan rentang usia maksimal 35 tahun hanya di bawah 10%.

Sensus Pertanian BPS juga menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun usia pekerja di sektor pertanian mengalami peningkatan dengan rata-rata usia di atas 36 tahun.

Meski rata-rata usia petani di Indonesia mengalami penuaan, tetapi terdapat juga generasi muda yang tertarik pada sektor pertanian. Sejak tahun 2019 sampai 2021 proporsi angka generasi muda yang terjun di sektor pertanian terus mengalami peningkatan. Dari tahun 2019 jumlah petani dengan usia 15–35 hanya sekitar 6%, lalu di tahun 2020 mengalami kenaikan sekitar 7% dan tahun 2021 sekitar 9%. Kendati persentase peningkatannya tidak drastis, tapi dapat dikatakan bahwa pertumbuhan petani milenial Indonesia memiliki potensi.

Tidak heran jika pemerintah terus mengkampanyekan program petani milenial. Kementan mengklaim petani milenial adalah prospek yang bagus untuk perkembangan pertanian nasional. Selain dari segi usia dan fisik yang jauh lebih muda, petani milenial dinilai lebih inovasi dan kreatif dalam membangun sektor pertanian berkelanjutan.

Pendapatan Petani Tidak Dapat Menjadi Jaminan?

Namun jumlah petani muda yang jauh tak sebanding dengan petani usia tua adalah persoalan tersendiri. Masih minimnya jumlah petani muda ini tak lepas dari presepsi yang muncul bahwa profesi petani dinilai kurang menjamin masa depan.

Secara ekonomi menjadi petani dianggap sebagai pekerjaan yang kurang menguntungkan. Menjadi petani yang mengandalkan hasil panen memang tidak dapat menerima uang dengan jumlah pasti setiap bulannya. Besaran uang yang diterima tergantung dari luas lahan garapan dan kualitas hasil panen. Faktor selanjutnya yang membuat pertanian kurang diminati oleh generasi muda adalah persepsi bahwa petani merupakan pekerjaan tradisional.

Berdasarkan data BPS 2021, sektor pertanian juga tak terlalu banyak berkontribusi terhadap pendapatan nasional. Sektor pertanian kalah dibandingkan sektor pertambangan, perdagangan, dan konstrusi. Sektor pertanian hanya menyumbang 1,31 persen pendapatan nasional.

Masih minimnya pendapatan dari sektor pertanian tersebut didasari oleh beberapa faktor, seperti kurang optimalnya pengelolaan lahan, menurunnya produktivitas hasil panen, dan minimnya sumber daya manusia. Beberapa faktor ini pernah diulas dalam seri lapsus sebelumnya terkait perkembangan prospek pangan.

Pengelolaan lahan dan tanaman yang kurang optimal akan mengakibatkan turunnya hasil panen. Apabila hasil panen menurun maka pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat pun akan terdampak.

Masih kurangnya produksi pangan ini kemudian dijadikan salah satu dasar pemerintah untuk melakukan impor pangan.

Berdasarkan data BPS 2020, empat bahan pangan yang paling banyak diimpor di antarnya adalah biji gandum dan meslin sebanyak 102.996.992 kilogram (kg), kedelai 24.752.852 kg, sayuran 9.196.352 kg, dan beras 3.562,863 kg.

Dari empat bahan pangan, beras masuk sebagai salah satu daftar pangan yang turut diimpor. Meski besaran jumlah impor tidak sebanyak yang lain, tetapi patut untuk dikoreksi. Mengapa demikian? Padahal beras adalah makanan utama masyarakat Indonesia.

Dalam tiga tahun terakhir setelah impor beras besar-berasan mulai direm pada 2018, kini trennya mulai menurun.

Meski impor beras memiliki tren menurun, tetapi kebijakan impor yang masih tetap diberlakukan akan tetap mempengaruhi kesejahteraan petani. Kebijakan impor pemerintah akan mempengaruhi turunnya harga komoditas bahan pangan di pasar domestik. Selain itu bahan pangan impor juga mempunyai pengaruh besar pada nilai tukar rupiah. Seperti disebutkan pada jurnal penelitian DPR RI Komisi IV, anjloknya harga komoditas hasil panen karena diterapkannya kebijakan impor pada masa panen.

Apabila ditarik benang merah dari analisis di atas, turunnya pendapatan di sektor pertanian salah satu yang mempengaruhi adalah kurangnya hasil panen dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang disebabkan banyak faktor termasuk impor. Di sisi lain sumber daya manusia dalam mengolah lahan pertanian pun turut mempengaruhi kualitas hasil panen.

Editor: Irwan Syambudi

More like this

Popularitas Partai Politik di Media Massa Online dan & Media Sosial Periode Desember 2023

Netray melakukan pemantauan media massa online dan Twitter untuk melihat popularitas partai politik (parpol)...

Speech Analysis Debat Capres 7 Januari: Agresif, Normatif, hingga Solutif

Debat capres yang diselenggarakan KPU pada tanggal 7 Januari lalu, meninggalkan banyak ruang untuk...

Analisis Speech to Text Debat Cawapres; Apa yang Jadi Perhatian Muhaimin, Gibran, dan Mahfud?

Usai menggelar debat perdana capres pada 12 Desember 2023 lalu, KPU kembali menggelar debat...
%d bloggers like this: