Sektor tambang pada 2021 bersinar cerah. Realisasi penerimaan negara dari pertambangan non minyak dan gas mencapai Rp75,44 triliun atau hampir 200% dari target sebesar Rp39,1 triliun. Penerimaan ini jadi yang tertinggi dalam hampir satu dekade terakhir. Namun peningkatan penerimaan negara ini berlawanan dengan jumlah izin pertambangan yang terus menurun.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total izin pertambangan mineral dan batubara per 17 Februari 2022 ada 6.648 terdiri dari 66 komoditas tambang meliputi tanah liat, emas hingga batubara. Total luasan pertambangan mencapai 9,77 juta hektare atau setara tiga perempat Pulau Jawa yang luasnya 12,8 juta hektare.
Izin pertambangan yang tercatat meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP); Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian (IUP OPK); Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B); Kontrak Karya; Izin Pertambangan Rakyat (IPR); dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Dalam kurun 9 tahun terakhir izin pertambangan terus menurun. Pada 2013 total izin tambang mencapai 10.917, sempat menyusut menjadi hanya 3.261 pada 2019 kemudian di akhir 2021 menjadi 5.391. Dan pada 2022 ini izin tambang diprediksi juga terus berkurang setelah pemerintah mengumumkan sejumlah pencabutan izin pertambangan.
Netray melakukan pemantauan media untuk melihat pemberitaan terkait izin penambangan pada 2022. Total dari 1 Januari hingga 1 Maret 2022 ada 261 pemberitaan soal izin pertambangan dan puncak pemberitaan terjadi pada 7 Januari 2022 saat pemerintah mengumumkan mencabut 2.078 izin tambang.
Pengumuman pencabutan izin disampaikan Presiden Jokowi. Alasan pencabutan izin itu kata Jokowi lantaran ribuan perusahaan pertambangan itu tidak pernah sampaikan rencana kerja. Kemudian izin yang sudah bertahun-tahun diberikan tidak dikerjakan, sehingga kata Jokowi menyebabkan tersanderanya pemanfaatan SDA untuk tingkatkan kesejahteraan rakyat
Pendapatan Negara dari Tambang Melonjak
Jika menilik data Kementerian ESDM, jumlah izin tambang yang terus menurun ini berbanding terbalik dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor tersebut. Meski PNBP cenderung fluktuatif namun ada tren kenaikan dalam 9 tahun terakhir.
Pada 2013, saat jumlah izin tambang tercatat paling banyak, PNBP tambang hanya Rp28,41 triliun atau 85,75% dari target Rp33,13 triliun. Sempat naik pada tahun berikutnya, namun kemudian menurun pada 2 tahun berikutnya. Tercatat dari 2013 hingga 2016 saat izin tambang jumlahnya 9.000–10.000, PNBP tak pernah memenuhi target. Paling buruk terjadi pada 2015 saat PNBP hanya tercapai 56,75% dari target Rp52,21 triliun.
Saat tren penurunan izin tambang masih terus terjadi, pada 2017 PNBP naik dari tahun sebelumnya yakni menjadi Rp40,62 triliun. Sampai pada 2019 saat izin tambang paling sedikit yakni 3.261, PNBP masih konsisten di atas Rp40 triliun. Namun pada 2020 saat pandemi COVID-19 mulai melanda Indonesia turut mengguncang sektor tambang, PNBP kembali merosot jadi Rp34,65 triliun. Hingga kemudian melonjak pada 2021 menjadi Rp75,44 triliun
Pendapatan negara sektor tambang ini terdiri dari 3 komponen utama yakni deadrent atau iuran tetap yang dibayarkan kepada negara sebagai imbalan atas kesempatan melakukan penyelidikan umum hingga melakukan eksploitasi penambangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012, perusahaan pemegang IUP dan IUPK membayar US$2–4 per Ha/tahun, IPR sebesar US$1–2 per Ha/tahun, sedangkan untuk pemegang KK dan PKP2B dikenakan tarif iuran tetap sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Kemudian komponen royalti yakni iuran produksi yang dibayarkan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi sesuatu atau lebih bahan galian. Untuk tarif iuran produksi misalnya komoditas batubara adalah 2–7% per ton dari harga jual, emas 3,75% per kilogram dari harga jual, atau timah sebesar 3% per ton dari harga jual.
Lalu komponen PNBP penjualan hasil tambang dari setiap perusahaan yang memegang izin pertambangan di Indonesia. Komponen penjualan hasil tambang ini berkontribusi kedua terbesar setelah royalti setiap tahunnya.
Tambang Batubara Dominan, Luasnya 14 Kali DIY
Pendapatan besar negara dari sektor tambang ini tak lepas dari sejumlah komoditas andalan seperti batubara dan emas yang berkontribusi cukup besar. Kenaikan harga batubara turut mengerek pendapatan negara secara signifikan.
Dan tambang batubara memang menjadi yang terbanyak dan terluas di Indonesia. Jika menilik data Kementerian ESDM dari total 6.648 izin, sebanyak 2.371 di antaranya merupakan izin tambang batubara, kemudian diikuti andesit 479; mineral logam 424; kerikil berpasir alami (Sirtu) 407; Nikel 344; dan emas ada di urutan ke-12 dengan 140 izin.
Khusus tambang batubara, jika dilihat berdasarkan luasan dari total 9,77 juta hektare izin pertambangan yang dikeluarkan, nyaris setengahnya adalah pertambangan batubara yakni 4,5 juta hektare. Sebagai pembanding, luasan ini sama dengan 14 kali luas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang hanya 318 ribu hektare.
Dari luasan itu saja dapat dihitung menggunakan asumsi jika semuanya merupakan pemegang IUP dan IUPK maka sektor batubara menghasilkan US$9–18 juta per tahun hanya dari iuran tetap. Belum lagi dihitung dari besaran royalti, yang sejak 2015 produksi batubara setiap tahun selalu di atas 450 juta ton per tahun.
Daftar Perusahaan Tambang dengan Izin Terluas
Meski izin tambang batubara tercatat jadi yang terluas secara keseluruhan, namun bila dilihat lebih detail lagi dari 10 izin tambang yang terluas didominasi oleh izin tambang emas. Ada 6 tambang emas yang masuk 10 besar dan hanya 2 tambang batubara, sisanya timah dan nikel.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pemegang izin tambang terluas di Indonesia bukanlah PT FREEPORT INDONESIA, melainkan PT AGINCOURT RESOURCES. Perusahaan yang disebut terakhir memiliki izin dengan luas 130.525 hektare di 4 kabupaten di Sumatera Utara yakni Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Sementara FREEPORT tercatat hanya memiliki luasan izin 9.946 hektare di Kabupaten Mimika Provinsi Papua.
Dapat dibayangkan, area tambang AGINCOURT RESOURCES ini luasnya melebihi dua luas 2 kabupaten di DIY yakni Sleman 57.480 dan Kulonprogo 58.630 hektare. Dua kabupaten itu jika digabung hanya 116.110 hektare.
AGINCOURT RESOURCES mengantongi izin KK sampai 24 April 2042, salah satu komisarisnya adalah Putut Eko Bayuseno, seorang purnawirawan Polri berpangkat Komisaris Jenderal dan Bambang Susigit mantan pejabat Kementerian ESDM yang pada 2017 menjabat Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.
Kemudian daftar izin tambang terluas kedua adalah tambang batubara yang dimiliki PT BERAU COAL seluas 108.009 hektare. Mereka mengantongi izin PKP2B yang berlaku hingga 26 April 2025.
Tercatat komisaris perusahaan PT BERAU COAL dihuni para mantan pejabat. Salah satunya adalah Kepala Staf TNI Angkatan Laut 2012–2014 Laksamana (purnawirawan) Marsetio dan Wakil Jaksa Agung 2009–2013 Darmono yang juga pernah menjabat sebagai pelaksana tugas Jaksa Agung kurang lebih 2 bulan pada 2010.
Sementara itu jika dilihat berdasarkan pemilik saham terbanyak pada daftar 10 perusahaan pemegang izin tambang terluas, tercatat ada tiga perusahaan pemilik saham terbanyak yang berasal dari luar negeri.
Pertama adalah PT RIANA MUTIARA IDENBURG yang menempati izin tambang terluas ketiga dengan 92.280 hektare. Perusahaan pemegang izin KK tambang emas di Kabupaten Pegunungan Bintang dan Keerom, Papua itu sahamnya 85% dimiliki oleh IRIANA IDENBURG Ltd, sebuah perusahaan yang tercatat di Cayman Island, negara yang dikenal sebagai tempat penyimpanan aset lantaran memiliki biaya pajak yang rendah.
Kemudian ada PT PELSART TAMBANG KENCANA yang menempati izin tambang terluas ketujuh dengan 62.500 hektare. Perusahaan pemegang izin KK tambang emas di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, itu sahamnya 51% dimiliki oleh TAMBANG KENCANA SINGAPORES Pte Ltd yang tercatat di Singapura.
Lalu ada PT KALTIM PRIMA COAL yang menempati izin tambang terluas kedelapan dengan 61.543 hektare. Perusahaan pemegang izin IUPK tambang batubara di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, itu sahamnya 30% dimiliki oleh BHIRA INVESMENT Ltd yang tercatat di Mauritius, sebuah negara yang juga dikenal sebagai tempat penyimpanan aset lantaran memiliki biaya pajak yang rendah.
Jika melihat lokasi perizinan 10 tambang terluas, sebarannya ada di pulau-pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Papua dan Sulawesi. Namun jika dilihat secara keseluruhan, Kalimantan jadi pulau dengan perizinan tambang terbanyak.
Berdasarkan data 10 besar kabupaten atau kota dengan izin tambang terbanyak, Pulau Kalimantan menempatkan 4 kabupaten/kota. Dua kabupaten di antaranya yakni Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat berada di Provinsi Kalimantan Timur, provinsi yang telah ditetapkan sebagai lokasi Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Editor: Ananditya Paradhi