Wabah COVID-19 yang menyerang dunia sejak Desember, sepertinya belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda dalam waktu dekat. Begitu pula dengan situasi nasional yang secara resmi diakui muncul pertama kali pada bulan Maret 2020. Laporan kasus positif justru semakin bertambah saban harinya.
Sinyal penurunan kasus masih belum nampak, sebaliknya perhelatan Pilkada sebagai peristiwa politik periodik nasional sudah di depan mata. Sejumlah besar daerah di Indonesia akan kembali memilih siapa sosok yang akan memimpin mereka untuk lima tahun ke depan. Hanya saja banyak pihak yang terpaksa harus menghadap-hadapkan dua hal ini.
Perhelatan Pilkada seperti yang selama ini terjadi, melibatkan interaksi sosial seperti kerumunan massa yang masif jumlahnya. Tentu hal ini sangat tidak dianjurkan dalam situasi pandemi seperti ini. Dari pemantauan Media Monitoring Netray, sejumlah surat kabar daring telah bersuara terkait dilema ini.
Protes Ormas di Media Massa
Melalui kata kunci tunda, pilkada, dan covid, Netray menemukan 448 berita yang diterbitkan oleh 78 media massa daring. Sepertinya isu penundaan pilkada tidak menarik untuk diangkat oleh portal berita kecil. Pasalnya dari sekian kantor redaksi yang melaporkan, sebagian besar dilakukan oleh media massa besar seperti Sindonews, CNN Indonesia, Tempo, atau Republika.
Meskipun kekhawatiran ini sudah cukup lama terdengar, sikap atau pernyataan untuk menunda pilkada secara resmi baru disampaikan beberapa waktu yang lalu. Tepatnya pada 4 September 2020. Kala itu aktivis Ray Rangkuti menyarankan kepada pemerintah untuk menghentikan perhelatan pilkada. Pasalnya banyak bakal pasangan calon di berbagai daerah melakukan konvoi bersama pendukungnya tanpa mengindahkan protokol Covid-19.
Media massa daring hampir sepakat jika wacana untuk penundaan pilkada ini merupakan hal yang positif mengingat situasi pandemi yang tidak bisa sepenuhnya diprediksi dan dirawat. Data sentimen yang berhasil dihimpun Netray sejak awal bulan menunjukkan bahwa sentimen positif lebih mendominasi dengan 209 judul dibandingkan sentimen negatif yang hanya menghiasi 80 judul laporan media massa.
Pemantauan Netray juga menunjukan sejumlah tokoh yang paling banyak disinggung terkait pandemi yang sedang dialami Indonesia saat ini. Nama Presiden Joko Widodo menduduki peringkat pertama dalam daftar Top Account. Bagaimanapun juga keputusan penundaan Pilkada berada di tangan Presiden.
Sedangkan pada Top Organization, muncul subyek bernama Perludem. Meski menempati posisi terakhir, peran Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam mewacanakan penundaan pilkada cukup monumental. Mereka adalah organisasi massa pertama yang memprotes prosesi pilkada tetap dilaksanakan meskipun masih dalam situasi pandemi.
Kembali melihat grafik distribusi pemberitaan selama bulan ini, laporan surat kabar daring selama beberapa waktu, terbit dengan frekuensi yang hampir sama. Rata-rata setiap hari terbit berita antara belasan hingga 30-an artikel saja. Namun pada tanggal 20 September terjadi lonjakan yang sangat tidak seimbang. Tercatat pada hari itu terbit 107 laporan di semua portal berita daring.
Usut punya usut, lonjakan ini terjadi karena sehari sebelumnya, Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan ke wartawan bahwa ia sepakat dengan usulan penundaan pilkada demi keselamatan masyarakat Indonesia. Tentu saja pernyataan JK lantas mendapat respon yang sangat beragam dari banyak elit politik di Indonesia.
Monitoring Sosial Media
Domain sosial media pun tak kalah ramai dalam membahas wacana penundaan pilkada Desember nanti. Selain naiknya tagar #tundapilkada, cuitan yang mengandung kata kunci tunda dan pilkada juga tak kalah riuh sejak awal bulan September ini.
Dari agregasi kata yang paling kerap digunakan, dapat dianalisis topik apa saja yang menjadi pusaran pembicaraan warganet Twitter. Kemunculan kata tunda dan pilkada sepertinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Yang mengundang perhatian adalah kemunculan kata anak dan jokowi.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, kata ini muncul sebagai representasi prasangka publik terkait alasan mengapa Presiden Joko Widodo seperti sangat bersikeras untuk tetap menyelenggarakan pilkada. Publik menilai Presiden memiliki maksud lain, yakni agar anaknya Gibran yang maju di Pilkada Kota Solo dan juga menantunya, Bobby di Pilkada Kota Medan terpilih dalam momen tersebut.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dua entitas ini, baik tunda pilkada dan anak jokowi akan mempengaruhi sentimen warganet secara umum? Dari data yang ditampilkan dalam grafik, Netray menemukan bahwa cuitan dengan sentimen positif muncul sebanyak 14.743 kali. Sedangkan cuitan dengan sentimen negatif di-posting sebanyak 8.511.
Tentu saja cukup mengherankan. Bagaimana mungkin subjek perbincangan yang memiliki konotasi negatif tetapi justru direspon positif oleh warganet? Mungkin jawabannya bisa ditelisik dari dalam cuitan dengan sentimen positif sendiri. Pernyataan apa yang mengkonstitusi sentimen tersebut?
Cuitan bernada positif diatas sedikit banyak disebabkan karena pengaruh (influence) oleh cuitan yang datang dari sejumlah akun influencer. Menurut pandangan Netray, akun-akun ini adalah akun yang mendapat respon terbanyak dari warganet (Top Account).
Misalnya akun @agusjabo33 yang mengatakan jika anggaran pilkada lebih baik untuk penanggulangan bencana. Ia tak lupa mengirim doa untuk korban pandemi yang sudah mendahului.
Akun @AlifKamal__ mengutip pepatah Yunani bahwa “Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi bagi suatu negara.” Sedangkan @ChristWamea menyebutkan jika presiden cinta nyawa rakyatnya, pasti pilkada 2020 akan ditunda. Termasuk akun @Dandhy_Laksono yang memberikan saran kepada oligarki agar mereka berfokus ke pandemi. Ujaran-ujaran yang bernada ajakan, doa, anjuran, dan saran semacam ini membuat perbincangan di Twitter cenderung memiliki sentimen positif, meski secara substantif merupakan kritik.
Hasil pemantauan Netray sejak awal bulan menghasilkan 31.685 cuitan yang mengandung kata kunci. Puluhan ribu cuitan tersebut mendapatkan reaksi warganet dalam bentuk like, reply, dan favorite sebanyak 99,7 ribu kali. Dan menjangkau 53,5 juta pengguna akun Twitter. Nilai-nilai ini tentu akan semakin bertambah mengingat situasi pandemi dan kejelasan pilkada masih kabur di awang-awang.