Hampir setiap tahun pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) dengan tujuan semakin mengendalikan konsumsi rokok dan menurunkan prevalensi perokok khususnya di bawah umur. Hasilnya yang jelas pendapatan negara dari CHT terus meningkat, namun apakah konsumsi rokok terkendali dan prevalensinya menurun?
Jika dilihat berdasarkan data lima tahun terakhir dari Kementerian Keuangan, cukai rokok hampir selalu naik. Pada 2016 mengalami kenaikan 11,19%, kemudian pada 2017 naik 10,54%. Di tahun 2018 naik 10,04%, pada 2019 tak ada kenaikan. Namun pada tahun 2020 terjadi kenaikan paling tinggi yakni menapai 23%.
Kemudian pada 2021 terjadi kenaikan sebesar 12,5% dan baru-baru ini untuk 2022 Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan kembali adanya kenaikan CHT sebesar 12%.
Kenaikan CHT itu berbanding lurus terhadap pemasukan negara dari sektor tersebut. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), pada 2016 pendapatan CHT sebesar Rp137,9 triliun, kemudian 2017 naik menjadi Rp147,7 triliun.
Pada 2018 sebesar Rp161,7 Triliun, kemudian pada 2019 meskipun tidak ada kenaikan CHT namun pemasukkan untuk negara dari sektor ini tetap naik dari tahun sebelumnya yakni Rp173,4 triliun dan naik tipis pada 2020 menjadi Rp179,8 triliun.
Pendapatan CHT pada 2020 ini tercatat berkontribusi cukup besar terhadap penerimaan negara, yakni mencapai 10,33%. Dan pada 2021, adanya kenaikan CHT sebesar 12,5% diproyeksikan juga membawa kontribusi besar terhadap pendapatan negara.
Kenaikan CHT yang terjadi hampir setiap tahun itu demi mengendalikan tingkat konsumsi rokok di masyarakat, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. Sebab berdasarkan data Simposium Nasional Keuangan Negara 2020, The Asean Tobacco Control Atlas (SEACTA) menyebut pada 2014 Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara prevalensi perokok terbanyak di Asean, yakni sebesar 50,68%.
Lalu, berdasarkan WHO jumlah perokok aktif di Indonesia pada tahun 2015 yakni sebesar 72.723.300 jiwa. Hal tersebut akan diperkirakan terus meningkat hingga lebih dari 96 juta jiwa pada tahun 2025 mendatang.
Oleh karena itu dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah menargetkan prevalensi merokok khususnya pada anak Indonesia usia 10–18 tahun turun minimal menjadi 8,7 persen di tahun 2024.
Jika menilik data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan yang dilakukan lima tahunan, memang terdapat peningkatan prevalensi merokok pada populasi usia 10 hingga 18 tahun yakni pada tahun 2013 sebesar 7,2% menjadi 9,1% pada 2018.
Sedangkan menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) yang bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional, prevalensi perokok usia dibawah 18 tahun lebih sedikit dan terus menurun setidaknya dalam 3 tahun terakhir yakni pada 2019 sebesar 3,87%, pada 2020 sebesar 3,81% dan menurun pada 2021 menjadi 3,69%.
Namun, bila dilihat persentase perokok kelompok 15 tahun ke atas, data BPS menunjukkan adanya kenaikan. Pada 2019 menunjukkan 29,03% penduduk yang merokok, pada 2020 turun menjadi 28,69%, dan naik 0,27% pada 2021 menjadi 29,96%.
Sementara itu jika dilihat secara lebih detail, jumlah perokok per provinsi, Lampung menempati urutan teratas dengan jumlah perokok aktif di atas 15 tahun sebesar 34.07% pada 2021. Sedangkan provinsi yang memiliki jumlah perokok terendah yakni Provinsi Bali dengan jumlah 19.58%.
Daya Konsumsi Rokok Masyarakat
Kenakan CHT tiap tahunnya apakah benar dapat memberikan dampak pada daya konsumsi rokok masyarakat Indonesia? Regulasi terkait kenaikan cukai tak hanya terjadi di tahun ini, sebelumnya pemerintah juga telah memberikan upaya penekanan pada hal ini.
Menurut data Kementerian Keuangan, pada tahun 2021 dengan kenaikan cukai rokok sebesar 12,5% diproyeksikan akan menurunkan produksi rokok hingga sebesar 2,2%-3,3%. Kemenkeu juga memproyeksikan prevalensi merokok pada anak remaja juga akan turun sebesar 8,8%-9,9%.
Namun, hal ini justru berbanding terbalik dengan keadaan lapangan yang menunjukkan jumlah perokok di atas 15 tahun pada 2021 naik 0,27% dari tahun sebelumnya.
Daya konsumsi rokok ternyata tak dipengaruhi oleh harga. Hampir setiap tahunnya cukai rokok mengalami kenaikan, hal tersebut tak menurunkan daya konsumsi masyarakat. Berdasarkan jurnal Pengaruh Cukai Rokok terhadap Konsumsi Rokok yang ditulis oleh Desliyani Tri Wandita, kenaikan cukai tidak menurunkan pengeluaran konsumsi rokok. Bahkan ada kecenderungan ketika cukai rokok dinaikkan persentase pengeluaran untuk rokok juga semakin besar.
Menurut hasil penelitian Desliyani, setiap terjadi perubahan harga rokok sebesar 1% maka akan menaikan konsumsi rokok rumah tangga sebesar 1,64% dengan asumsi variabel penjelas lain tetap/konstan. Rumah tangga yang berstatus miskin maka akan meningkatkan konsumsi rokok rumah tangga sebesar 0,439 satuan dengan asumsi variabel penjelas lain tetap/konstan.
Isu Kesehatan
Selain untuk mengurangi daya konsumsi rokok, pemerintah juga berupaya untuk menekan angka kematian yang disebabkan oleh perokok aktif maupun pasif. Berdasarkan data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), rokok menjadi urutan kedua sebagai faktor risiko kematian tertinggi di Indonesia setelah penyakit darah tinggi .
Di Indonesia terjadi pergeseran penyebab kematian yang signifikan antara penyakit menular (PM) dengan penyakit tidak menular (PTM). Dari data yang dihimpun oleh IHME, terjadi pergeseran sebesar 27,9% pada penyakit tidak menular di tahun 1990–2017. Salah satu penyebab kematian dari penyakit tidak menular ialah gaya hidup yang tidak sehat, termasuk merokok.
Selanjutnya, jumlah angka kematian akibat rokok di Indonesia diperkirakan sebanyak 88/100 ribu jiwa. Sepuluh provinsi memiliki rata-rata di atas jumlah angka kematian nasional tersebut. Urutan teratas, yakni Provinsi Yogyakarta dengan rata-rata kematian 128/100 ribu jiwa.
Selain jantung dan stroke, kanker menjadi penyakit yang merupakan dampak signifikan dari tembakau. Berdasarkan jurnal yang diunggah oleh Farmaseutik UGM, angka kematian pada laki-laki tertinggi yang diakibatkan oleh rokok ialah penyakit kanker paru-paru, yakni sebesar 1.350 dengan nilai Smoking Attributable Fractions (SAFs) sebesar 84,80%. Sedangkan pada perempuan, kanker serviks menempati urutan kedua setelah kanker paru-paru.
Nasib Petani Tembakau
Kebijakan kenaikan yang diklaim juga telah mempertimbangkan dampak terhadap petani tembakau, pekerja, serta industri hasil tembakau secara keseluruhan. Namun hal ini berbanding terbalik dengan isu yang beredar di lapangan.
Berdasarkan pantauan Netray melalui analisis pemberitaan, nasib petani di tengah kenaikan cukai rokok menjadi perhatian media massa. Seperti yang diunggah oleh media Pikiran Rakyat, menurut Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat, Suryana ujung penderitaan dari dampak kebijakan cukai ada pada petani tembakau.
Kementerian Pertanian memberikan suara terhadap kebijakan baru tersebut. Melansir dari media Kumparan, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian (Kementan), Bagus Hudoro mengatakan dari kebutuhan tembakau nasional sebesar 338 ribu ton, sekitar 261 ribu ton dipenuhi dari produksi tembakau lokal. Sehingga kenaikan tarif cukai ini dikhawatirkan akan mengurangi serapan tembakau petani dalam negeri.
Kenaikan Cukai Rokok di Mata Warganet
Tak hanya disoroti oleh media dan juga para ahli, kenaikan cukai rokok ini tentu saja juga menjadi perhatian masyarakat sebagai konsumen. Melalui Media Monitoring Netray kita dapat melihat seperti apa opini masyarakat yang diwakili oleh warganet Twitter terkait dengan kebijakan baru tersebut?
Dengan kata kunci umum, yakni rokok, Netray berhasil menghimpun sebanyak lebih dari 20 ribu tweet dalam periode pemantauan 1–25 Januari 2022. Sedangkan pada kata kunci spesifik, yakni cukai rokok hanya ditemukan sebanyak 337 tweet. Benarkah cukai rokok ini tidak dapat perhatian dari warganet Twitter?
Kebijakan kenaikan cukai rokok ternyata tak secara spesifik ditwit oleh warganet dengan kata kunci tersebut. Banyak warganet yang hanya menggunakan kata kunci rokok untuk mengungkapkan keresahan ini. Naiknya harga rokok yang dibarengi dengan kenaikan harga pokok lainnya menjadi ajang kritik wargante terhadap pemerintah yang dinilai membebankan APBN kepada rakyat.
Lalu seperti apa arus perbincangan topik rokok dalam periode pemantauan ini? Melalui grafik Peak Time terlihat gelombang perbincangan terkait rokok mengalami pasang surut. Kenaikan signifikan terjadi di dua tanggal yakni 7 dan 18 Januari 2022 dengan puncak tertinggi pada 23 Januari 2022.
Pada tanggal 7 Januari, ditemukan 1.965 twit yang mencatut kata kunci rokok. Topik utama dalam pada tanggal ini ialah terkait pemberitaan gugatan pemilik hologram cukai rokok Feybe Fince Goni terhadap PT Pura Nusa Persada. Gugatan sebesar 370 M ini dilayangkan Feybe lantaran ia tidak pernah menerima keuntungan dari hologram ciptaannya sejak penggunaan tahun 1995. Berita tersebut sontak menggelitik warganet yang merasa adanya ketidakpedulian pemerintah terhadap hak cipta.
Selanjutnya, sejak tanggal 18 hingga puncak perbincangan 23 Januari, warganet terus menyuarakan topik kenaikan rokok. Namun, twit tak hanya berisikan tentang protes atas kebijakan tersebut. Tak sedikit warganet yang juga menyambut positif kebijakan terbaru dari pemerintah.
Pro Kontra Cukai Rokok Terus Bergulir
Regulasi cukai rokok yang terus mengalami perubahan tentu saja juga selalu mendapat respons masyarakat terutama konsumen rokok. Kebijakan yang diklaim sebagai bentuk upaya peningkatan kualitas SDM ternyata justru dinilai mencekik beberapa pihak, terutama petani tembakau sebagai penyedia bahan baku utama.
Tak hanya itu, upaya yang dinilai sebagai penekanan isu kesehatan ternyata tak memberikan dampak signifikan dalam tahun ke tahun. Justru dengan adanya kebijakan kenaikan harga rokok membuat konsumen semakin tertarik untuk membeli rokok legal bahkan ilegal. Yang mana hal tersebut tentu saja sangat berpengaruh pada kondisi kesehatan. Hal ini terlihat dari beberapa penelitian ataupun laporan kesehatan yang menunjukkan besarnya penderita bahkan kematian akibat paparan rokok.
Hingga kabar terbaru kali ini, kebijakan yang resmi diterapkan per awal tahun 2022 tersebut terus meninggalkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Kegelisahan yang dialami oleh perokok aktif dan dukungan si ‘anti’ rokok terhadap regulasi terbaru terus digaungkan warganet dalam akun sosial media.
Editor: Irwan Syambudi