Penggunaan ganja untuk keperluan medis di seluruh dunia angkanya terus meningkat. Sejumlah negara telah melegalkan ganja terutama untuk keperluan medis. Di Indonesia wacana ganja sebagai pengobatan medis masih mengundang kontroversi.
Pada Desember 2020 Komisi Narkotika PBB (The UN Commission on Narcotic Drugs/CND) melakukan pemungutan suara untuk mengeluarkan ganja dari daftar zat adiktif berbahaya. Dari 53 negara anggota sebanyak 27 negara setuju mengeluarkan ganja dari daftar, sedangkan 25 menolak dan 1 abstain.
Dengan hasil pemungutan suara itu CND telah membuka pintu untuk mengakui potensi obat dan terapeutik obat dari ganja, meskipun penggunaannya untuk tujuan non-medis dan non-ilmiah akan tetap ilegal.
Meski CND baru membuka pintu pengakuan terhadap potensi ganja secara medis di akhir 2020, tetapi United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) dalam World Drug Report 2022 menyebut konsumsi ganja untuk keperluan medis sudah mulai menggeliat sejak 2011. Saat ini terdapat 64 negara yang mengizinkan penggunaan ganja untuk medis dengan berbagai tingkat pembatasan.
Dari 64 negara ada sekitar 40 negara yang memberikan laporan terkait jumlah stok, produksi, dan konsumsi ganja untuk medis. Data menunjukkan pada 2016 mulai terjadi peningkatan konsumsi ganja medis yang signifikan lebih dari 200 ton dalam setahun. Dan pada 2020 telah meningkat 4 kali lipat lebih, total konsumsi lebih dari 800 ton.
Namun, tingkat konsumsi masih tak sebanding dengan tingkat produksi ganja medis padahal stok ganja medis jumlahnya sangat menumpuk. Bahkan pada 2020 stok ganja untuk keperluan medis mencapai 1.700 ton, sementara produksinya baru 650 ton.
Rendahnya produksi ganja medis itu lantaran masih banyak negara yang belum melegalisasi ganja sehingga penelitian penggunaan ganja medis masih minim. Selama ini produksi ganja medis masih sangat didominasi Inggris dan Kanada yang menyumbang 71% total produksi pada 2020.
Penelitian Manfaat Ganja untuk Medis
Puluhan negara yang telah melegalkan ganja terutama untuk keperluan medis bukan tanpa alasan. Sejumlah penelitian yang menunjukkan manfaat ganja untuk menyembuhkan sejumlah penyakit adalah dasar utamanya.
Publikasi terbaru mengenai ganja medis berjudul “Cannabis-Based Medicine in Treatment of Patients with Gilles De La Tourette Syndrome” oleh Natalia Szejko dkk (2022) menyimpulkan bahwa senyawa yang ada dalam ganja dapat menyembuhkan orang dengan gilles de la tourette syndrome (GTS) atau latah.
Penelitian itu menyebut terdapat dua uji coba terkontrol acak kecil menggunakan senyawa Tetrahidrokanabinol (THC) dalam ganja yang menunjukkan keamanan dan kemanjuran intervensi dalam pengobatan tics atau gangguan gerakan atau ucapan di luar kendali pada pasien latah. Sementara itu bukti lain penggunaan ganja medis untuk penderita latah memang masih berkembang, sebagian besar studi masih terbatas pada laporan kasus, seri kasus, dan studi terbuka yang tidak terkontrol.
Kemudian dalam penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat atau Food and Drug Administration (FDA) pada 2020 menyebutkan bahwa senyawa turunan ganja memiliki manfaat untuk dunia kesehatan. Senyawa tersebut adalah THC dan Cannabinoid (CBD). Kedua senyawa ini banyak disebut memiliki berbagai manfaat untuk menyembuhkan beberapa penyakit.
Hasil penelitian FDA beberapa penyakit yang dapat diobati dengan kedua senyawa tersebut yakni kejang pada penderita jenis epilepsi seperti sindrom lennox gastaut dan dravet, kemudian penderita tuberous sclerosis complex atau kelainan multisistem genetik langka yang menyebabkan tumor berkembang di berbagai bagian tubuh.
Kemudian, dalam buku Hikayat Pohon Ganja oleh Tim Lingkar Ganja Nusantara yang diterbitkan Kompas Gramedia pada 2011 mengungkapkan terdapat kurang lebih 30 penyakit yang dapat disembuhkan oleh ganja. Tim Lingkar Ganja Nusantara memaparkan beberapa penelitian ilmiah yang menguji senyawa ganja untuk menyembuhkan beberapa penyakit tersebut.
Dalam buku Hikayat Pohon Ganja memaparkan secara detail bagaimana senyawa THC dan CBD yang ada dalam ganja mampu mengobati 30 penyakit. Tidak sedikit percobaan yang dilakukan di luar negeri untuk meneliti apakah senyawa tersebut memang ajaib dalam menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut. Hasilnya menjelaskan bahwa beberapa penyakit dapat sembuh total dan bahkan hilang dengan senyawa yang hanya dimiliki oleh ganja.
Scientific American, Inc juga menyebutkan bahwa otak manusia menghasilkan molekul misterius bernama endocannabinoid yang berperan dalam hampir semua fisiologis manusia. Kenyataannya cannabinoid yang dihasilkan tanaman ganja juga memiliki fungsi yang sama dengan molekul endocannabinoid.
Hasil penelitian-penelitian inilah yang kemudian menjadi pemantik FDA untuk menguji senyawa THC dan CBD dalam dunia medis. Pertama THC, senyawa ini dapat menghambat, menghentikan laju penyebaran berbagai penyakit saraf. Kedua CBD, senyawa ini berfungsi sebagai antioksidan, anti inflamasi, apoptosis (penghancuran diri sendiri pada sel-sel kanker, glioma dan pada saat yang bersamaan melindungi sel saraf yang masih sehat).
Selain memiliki banyak manfaat, kedua senyawa ini juga memiliki efek samping apabila digunakan sebagai pengobatan. Senyawa THC dan CBD dapat membuat cedera hati, berdampak pada kesuburan pria, dan dapat mempengaruhi obat lain yang dikonsumsi.
Setidaknya sampai saat ini UNODC mengungkap terdapat beberapa obat-obatan berbasis senyawa Cannabinoid yang telah disetujui untuk penggunaan medis di sejumlah negara. Adapun beberapa obat tersebut yakni Dronabinol, Nabilone, Nabiximols, dan Epidolex.
Kontroversi Ganja
Selain penolakan yang disampaikan 25 anggota CND, sejumlah negara non anggota seperti Singapura, Iran, Chili, dan Indonesia juga memberikan pernyataan penolakan.
Meski dalam sejumlah penelitian secara medis ganja memiliki manfaat, namun ganja dinilai lebih banyak efek samping yang lebih buruk. Indonesia dalam pernyataan resminya menyatakan kekecewaan terhadap hasil pemungutan suara untuk mengeluarkan ganja dari daftar zat adiktif.
Indonesia secara tegas mempertahankan konsensus lama bahwa ganja merupakan zat adiktif berbahaya. “Ada bukti yang jelas bahwa penggunaan ganja dan zat terkait ganja telah membawa lebih banyak ruginya daripada manfaatnya. Untuk itu, Indonesia menghimbau kepada semua pihak terkait untuk berhati-hati memutuskan tindakan selanjutnya setelah keputusan komisi untuk menerima rekomendasi yang telah mendukung pemanfaatan ganja medis”.
Pernyataan Indonesia itu mempertegas posisi Indonesia dalam hal pemanfaatan ganja sehingga upaya-upaya penggunaan ganja untuk medis di dalam negeri masih menjadi kontroversi.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja merupakan golongan obat terlarang. Sehingga meskipun banyak penelitian yang menyebutkan manfaat ganja untuk medis, selama Undang-Undang tersebut masih berlaku akan sangat sulit memanfaatkan ganja untuk keperluan medis di Indonesia.
Hal itu juga tercermin ketika baru-baru ini Wakil Presiden Ma’ruf Amin mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk melakukan kajian tentang fatwa penggunaan ganja medis, namun malah memicu sentimen negatif warganet.
Opini Warganet Soal Ganja Medis
Melihat lebih detail bagaimana warganet memperbincangkan ganja medis, hasil pantaun Netray di Twitter periode 6 Juni-5 Juli 2022 dengan kata kunci “ganja && medis” menunjukkan pro dan kontra.
Perbincangan warganet menggema sebanyak 16,3 ribu twit dengan 2.506 sentimen positif dan 6.323 sentimen negatif. Meski sentimen negatif lebih banyak, tetapi adanya 2 ribu lebih twit bersentimen positif menunjukkan pro dan kontra yang dinamis.
Opini warganet dengan sentimen negatif berupa penolakan untuk melegalkan ganja sebagai obat. Meski ganja ditujukan untuk kepentingan medis, tidak sedikit menilai bahwa ganja cukup beresiko. Warganet juga meminta pemerintah untuk mencari obat alternatif selain ganja apabila wacana pelegalan ganja akan direalisasikan.
Sementara itu twit warganet dengan sentimen positif dipenuhi dengan opini yang sepakat dengan wacana pemerintah. Sebagian warganet menilai apabila ganja memang bermanfaat untuk medis dan tidak disalahgunakan maka dilegalkan pun tidak masalah.
Selain itu warganet juga mengungkapkan bahwa kegunaan ganja medis tidaklah sembarang, harus menggunakan resep dokter. Sehingga warganet percaya bahwa nantinya pemerintah akan lebih serius mengkaji tanaman ganja untuk medis agar hasil kajiannya dapat menjadi legitimasi ilmiah.
Editor: Irwan Syambudi