Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pengguna telepon seluler (ponsel) juga terus naik. Namun ketimpangan terhadap akses internet di daerah masih tinggi. Masih ada ribuan desa di berbagai provinsi yang memiliki sinyal ponsel dan akses internet yang buruk.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterbitkan Oktober 2021 menunjukkan adanya kenaikan IP-TIK yakni dari semula 5,32 poin pada 2019 menjadi 5,59 pada 2020. Jika dilihat per provinsi pada 2020 DKI Jakarta jadi yang tertinggi dengan IP-TIK 7,45 dan Papua terendah dengan angka 3,36.
Kenaikan IP-TIK secara nasional dipengaruhi oleh tiga subindeks utama yang juga mengalami pertumbuhan, yakni subindeks akses dan infrastruktur, subindeks penggunaan, dan subindeks keahlian. Namun yang paling tinggi adalah dari subindeks penggunaan yang tumbuh 10%, yakni dari 4,85 pada 2019 menjadi 5,34 pada 2020.
Sementara itu subindeks lainnya hanya mengalami pertumbuhan yang cenderung kecil, yakni pada indeks akses dan infrastruktur hanya 2,53% dan keahlian hanya 1,37%.
Lebih detail lagi masing-masing subindeks itu terdiri dari beberapa indikator. Subindeks akses dan infrastruktur terdiri dari data pelanggan telepon tetap per 100 penduduk; pelanggan ponsel per 100 penduduk; bandwidth internet internasional per pengguna; persentase rumah tangga dengan komputer; dan persentase rumah tangga dengan akses internet.
Kemudian subindeks penggunaan terdiri dari persentase individu yang menggunakan internet; pelanggan fixed broadband internet per 100 penduduk; dan pelanggan mobile broadband internet aktif per 100 penduduk. Sub indeks keahlian terdiri dari angka rata-rata lama sekolah; angka partisipasi kasar sekunder; dan angka partisipasi kasar tersier.
Dari sekian indikator yang memicu kenaikan IP-TIK, jumlah rumah tangga dan jumlah penduduk yang mengakses internet menjadi dua di antara indikator yang memiliki tren peningkatan tajam.
Merebaknya pandemi Covid-19 di Indonesia sejak awal 2020 jadi salah satu faktornya. Pandemi membuat ada pembatasan aktivitas luar ruangan, sehingga terjadi pergeseran aktivitas yang lebih banyak dilakukan secara dalam jaringan (daring) yang membutuhkan akses internet.
Data BPS menyebut rumah tangga yang mengakses internet meningkat dari 73,75% pada 2019 menjadi 78,18% pada 2020. Begitu pula data penduduk yang mengakses internet pada periode yang sama dari 47,69% menjadi 53,73%.
Peningkatan pengguna internet ini juga sejalan dengan data yang dimiliki perusahaan negara penyedia layanan internet terbesar yakni PT Telkom Indonesia. Berdasarkan laporan tahunan Telkom tahun 2021, pengguna produk layanan internet fixed broadband Indihome naik 1 juta dalam setahun yakni dari semula hanya 7 juta pengguna pada 2019 naik menjadi 8 juta pada 2020. Begitu pula pada kategori mobile broadband pada periode yang sama yakni dari 110,3 juta naik 5 juta lebih pengguna menjadi 115,9 juta.
Pertumbuhan pengguna internet ini juga berbanding lurus dengan peningkatan pengguna dan penjualan perangkat seperti ponsel pintar yang paling banyak digunakan untuk mengakses internet. Berdasarkan data BPS persentase rumah tangga yang memiliki/menguasai ponsel meningkat dari 89,09% pada 2019 jadi 90,75% pada 2020. Mereka tersebar hingga pelosok-pelosok pedesaan. Hal itu tergambar dalam data yang menunjukkan bahwa 86,45% rumah rumah tangga di pedesaan telah memiliki/menguasai ponsel.
Lebih detail BPS menyebut jika dihitung berdasarkan total populasi pada 2020 ada 62,8% yang memiliki/menguasai ponsel atau dari 271 juta total populasi terdapat 170 juta yang memiliki/menguasai ponsel.
Sementara itu jika dilihat berdasarkan data penjualan, meski ekonomi terguncang karena pandemi Covid-19, riset dari International Data Corporation (IDC) menunjukan adanya pertumbuhan penjualan ponsel pintar di Indonesia sebesar 1% pada 2020.
Sedangkan perangkat lainnya seperti komputer, penjualan pada 2020 menurut data IDC malah mengalami penurunan. Personal computer (PC) termasuk desktop, notebook, dan workstation, penjualannya turun 28,3% pada tahun 2020.
Namun penurunan penjualan ini bukan disebabkan karena menurunnya permintaan. Justru sebaliknya saat awal masa pandemi permintaan PC melonjak tajam, tetapi pasokan produk terkendala akibat pandemi sehingga penjualannya menurun.
Terkonsentrasi di Jawa, Timpang di Indonesia Timur
Peningkatan rumah tangga yang mengakses internet dan memiliki ponsel ini memang dibarengi dengan peningkatan sinyal ponsel di berbagai daerah. Namun jika dilihat berdasarkan IP-TIK, terjadi kesenjangan yang cukup tinggi. IP-TIK antara DKI Jakarta yang memiliki angka tertinggi dengan Papua yang memiliki angka terendah selisihnya 4,11. Kesenjangan ini meningkat dibanding tahun sebelumnya di 2019 yang hanya 3,98.
Lebih detail lagi jika dilihat kesenjangan berdasarkan subindeks IP-TIK, ada dua yang mengalami peningkatan yakni pada subindeks akses dan infrastruktur dari yang semula 3,38 naik menjadi 3,48. Kemudian subindeks pengguna yang kesenjangannya meningkat dari 4,72 menjadi 4,96 pada 2020.
Sedangkan dalam hal pembangunan infrastruktur, pembangunan Base Transceiver Station (BTS) yang berfungsi memancarkan sinyal seluler memang meningkat dari 35.062 desa di seluruh Indonesia pada 2019 menjadi 37.570 pada 2020. Namun peningkatan BTS tak serta merta meningkatkan akses sinyal sebab kondisi geografis dan lain sebagainya tak dapat menjamin satu desa yang memiliki BTS kemudian mendapatkan kualitas sinyal yang baik.
Berdasarkan data BPS, total desa yang masuk kategori memiliki sinyal lemah dan tidak ada sinyal sama sekali sebesar 27,35%. Sebanyak 20,56% atau 17.281 desa memiliki sinyal ponsel lemah dan sebanyak 6,79% desa tak memiliki akses terhadap sinyal ponsel sama sekali.
https://datawrapper.dwcdn.net/B6Xrt/3/
Jika dilihat lebih detail lagi, ketimpangan terlihat jelas ketika menilik kualitas sinyal ponsel di desa berdasarkan pulau-pulau besar. Berdasarkan data 2020, kualitas sinyal yang bagus nyaris merata di seluruh desa di Jawa. Sebanyak 89,54% desa di Jawa memiliki kategori sinyal yang kuat, 10,32% sinyal lemah dan hanya 0,14% desa yang tidak ada sinyal sama sekali.
Kondisi itu sangat jomplang jika dibandingkan dengan Pulau Maluku & Papua. Sebanyak 41,05% desa di sana tak memiliki akses terhadap sinyal ponsel sama sekali. Sementara 27% desa memiliki sinyal lemah dan hanya 31,80% desa yang memiliki sinyal yang kuat.
Padahal persentase rumah tangga yang memiliki ponsel di berbagai provinsi di Pulau Maluku dan Papua cukup tinggi. Hanya Provinsi Papua yang memiliki persentase rendah yakni 59,97%, sementara provinsi Papua Barat 91,98% rumah tangga memiliki ponsel, Maluku 90% dan Maluku Utara 89,81%.
Demikian pula di Pulau Kalimantan yang jumlah desa kategori sinyal kuat masih di bawah 60%, tepatnya 59,3%. Kalimantan memiliki desa dengan sinyal lemah sebanyak 33,83% dan 6,89% sisanya masuk desa kategori tanpa sinyal.
Padahal persentase rumah tangga yang memiliki ponsel di berbagai provinsi di Kalimantan nyaris di atas 90%, yakni masing-masing Kalimantan Tengah 94,4%; Kalimantan Selatan 92,53%; Kalimantan Timur 97,41%; Kalimantan Utara 97,9%; dan hanya Kalimantan Barat yang memiliki persentase di bawah 90% yakni 89,4%.
Persoalan ketimpangan di Papua & Maluku tak hanya sinyal ponsel, sumber energi listrik juga masih belum merata. Berdasarkan data BPS, Provinsi Papua memiliki persentase rumah tangga yang tak memiliki aliran listrik sebesar 14,12%. Angka itu jadi yang tertinggi se-Indonesia dan jauh melebihi angka nasional yang hanya 0,5% rumah tangga tanpa memiliki aliran listrik.
Begitu pula di provinsi Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara yang memiliki persentase rumah tangga tak memiliki aliran listrik di atas angka nasional. Papua Barat sebesar 3,33%; Maluku 3,69%; dan Maluku Utara 1,84%.
https://datawrapper.dwcdn.net/Fb6NY/1/
Imbas Ketimpangan Akses Internet pada Perekonomian
Data IP-TIK per provinsi menunjukkan angka ketimpangan yang cukup tinggi. Selain Provinsi Papua yang memiliki IP-TIK paling rendah, pada 2020 terdapat 3 provinsi lain yang masuk kategori IP-TIK rendah yakni Maluku Utara 4,78; Nusa Tenggara Timur 4,49; dan Kalimantan barat 5,04.
Dalam laporannya BPS menyebut bahwa nilai IP-TIK memiliki korelasi terhadap sosial ekonomi daerah. Di antaranya yaitu berkorelasi dengan indeks pembangunan manusia (IPM), produk domestik regional bruto (PDRB), lapangan usaha informasi dan komunikasi (Infokom), dan indeks daya saing digital. Semakin tinggi nilai IP-TIK di suatu provinsi, maka akan menaikkan IPM hingga indeks daya saing digital.
Indeks daya saing digital ini yang kemudian memberikan gambaran komprehensif mengenai perkembangan ekonomi digital suatu wilayah. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, komponen ekonomi digital diidentifikasi berdasarkan industri TIK, aktivitas e-commerce, dan distribusi digital barang dan jasa.
Jika diambil contoh dari aktivitas e-commerce, daerah-daerah yang memiliki IP-TIK rendah cenderung memiliki aktivitas yang rendah dan sebaliknya. Misalnya adalah Provinsi Papua yang memiliki IP-TIK terendah pada 2020 berdasarkan data BPS hanya memiliki jumlah usaha e-commerce sebanyak 3.023 atau 0,13% secara nasional.
Begitu pula di wilayah timur lainnya yang memiliki IP-TIK rendah juga memiliki jumlah usaha e-commerce yang minim. Seperti Papua Barat yang hanya memiliki usaha e-commerce sebanyak 1.685 atau hanya 0,07 persen dan menjadi yang terendah secara nasional.
Usaha e-commerce didominasi oleh provinsi di Pulau Jawa yang memiliki IP-TIK yang tinggi. Berdasarkan survei BPS 2021, dari total 2.361.423 usaha e-commerce di Indonesia, sebanyak 1.774.589 usaha atau 75,15% di antaranya berada di Pulau Jawa. Angka tertinggi adalah Jawa Barat yang memiliki 473.283 usaha e-commerce atau 20% secara nasional.
Data tersebut setidaknya menjadi gambaran bagaimana infrastruktur teknologi dan komunikasi (TIK) berdampak terhadap perekonomian. Rima Untari dkk dalam penelitianya berjudul Dampak Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia (2019) menyimpulkan bahwa bahwa infrastruktur TIK, yang direpresentasikan oleh kepemilikan telepon seluler, aksesibilitas internet, dan jumlah BTS, signifikan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Diedit oleh Winda Trilatifah