Dalam kurun waktu 3 tahun pandemi, sektor ketahanan pangan seperti menghadapi tantangan yang tak berujung. Beras pernah mengalami kenaikan drastis di sekitar tahun 2020, kemudian cabai sempat menempati harga tinggi, lalu kedelai dan kini minyak goreng di awal tahun 2022.
Kelangkaan minyak goreng cukup meresahkan masyarakat sebab minyak goreng merupakan salah satu bahan utama untuk mengolah pangan. Hal ini melahirkan ironi ketika Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sawit terbesar di dunia sebagai bahan baku utama minyak goreng nabati.
Pemantauan media massa selama sepekan, dengan periode 21–27 Februari 2022, menunjukan topik kelangkaan minyak goreng telah diulas sebanyak 3,295 ribu artikel yang berasal dari 114 portal media. Mayoritas insight yang disuarakan oleh media dapat dicek dalam jajaran top komplain.
Dari beberapa frase di atas, terdapat kata penimbunan minyak, harga minyak goreng, dan inflasi. Apabila dibandingkan dengan komplain yang lain, ketiga frase tersebut bisa diduga menjadi faktor utama kelangkaan minyak goreng di Indonesia.
Dugaan adanya penimbunan minyak goreng yang dilakukan oleh beberapa oknum paling banyak diulas media. Penimbunan di bagian distributor ini akan mempengaruhi sirkulasi peredaran minyak goreng di pasaran. Yang mulanya stok untuk masyarakat tercukupi karena ditimbun maka terjadi kekurangan hingga menyebabkan kelangkaan.
Melansir dari beberapa media daring, pihak berwenang telah meringkus oknum penimbun minyak goreng. Lokasi penimbunan minyak goreng ini pun hampir tersebar di seluruh Indonesia, mulai dari NTT, Sumatera, Banten, dan lain-lain. Setelah ditelusuri penimbunan ini menjadi salah satu faktor penting terjadinya kelangkaan minyak goreng di tangan konsumen.
Pelaku usaha yang melakukan penimbunan tersebut dapat dikenai hukum pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak senilai 50 miliar rupiah. Hal tersebut tertuang dalam pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Aksi menimbun minyak goreng ini oleh sejumlah pihak ini semakin terasa dampaknya karena tingginya permintaan minyak goreng di masyarakat. Menurut Kementerian Pertanian tentang tingginya permintaan masyarakat karena meningkatnya jumlah penduduk. Hal tersebut dapat dari laman United States Department of Agriculture jumlah permintaan konsumsi minyak kelapa sawit di Indonesia tahun 2020 sebanyak 16 juta ton. Seperti gambar di bawah, terjadi peningkatan permintaan dari tahun 2019 ke tahun 2020.
Selain faktor penimbunan, harga minyak goreng yang mahal pun menjadi salah satu keluhan masyarakat. Kenaikan harga minyak goreng tersebut ditakutkan akan menyulut inflasi pangan di Indonesia.
Dari sampel berita yang disajikan oleh media di atas, harga minyak goreng di pasaran mencapai kisaran dua puluh ribu per liter. Mahalnya minyak goreng tersebut membuat masyarakat ekonomi menengah ke bawah kesulitan untuk membeli minyak. Hal ini juga berdampak pada pelaku UMKM yang terancam gulung tikar akibat mahalnya harga minyak goreng.
Luas Lahan dan Produksi Minyak Kelapa Sawit di Indonesia
Setelah melihat secara umum faktor kelangkaan minyak goreng dan dampaknya di masyarakat, pertanyaan yang bisa diajukan selanjutnya adalah berapa luasan lahan penghasil kelapa sawit di Indonesia. Angka ini akan memberi gambaran terkait kapasitas produksi minyak goreng dalam negeri. Simak grafiknya di bawah ini.
Pasokan minyak goreng dalam negeri dipenuhi dari produk Crude Palm Oil (CPO). CPO dihasilkan dari areal perkebunan sawit baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat yang tersebar di Indonesia. Lahan untuk perkebunan sawit tersebar paling banyak di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Luas perkebunan sawit didominasi oleh provinsi di Pulau Sumatera dengan sebaran jumlah tanaman sawit terbesar. Kemudian luas sebaran lahan kedua didominasi oleh pulau Kalimantan. Total keseluruhan luas lahan yang berpotensi untuk perkebunan sawit yakni 12,025,70 Ha. Kepemilikan perkebunan sawit tersebut terdiri dari Pemerintah, Swasta dan milik pribadi atau rakyat.
Meski seluruh pulau di Indonesia memiliki luas lahan yang berpotensi untuk ditanami kelapa sawit, tetapi pemasok sawit terbesar di Indonesia tetap didominasi oleh dua pulau yakni Sumatera dan Kalimantan. Kementerian Pertanian menghimpun bahwa hasil produksi kelapa sawit dipenuhi oleh dua pulau sentral yakni Sumatera dan Kalimantan. Beberapa pulau lainnya masih tengah diupayakan untuk mengoptimalkan hasil produksi sawitnya.
Dari total luas lahan sawit yang telah dipaparkan pada gambar di atas, masing-masing provinsi dapat menghasilkan jumlah kelapa sawit berton-ton. Direktorat Jenderal Perkebunan merangkum beberapa daerah sentral penghasil kelapa sawit di tahun 2020. Dua belas provinsi dengan luas lahan terbesar dan jumlah panen terbanyak tetap yang paling mendominasi pulau Sumatera.
Seluruh provinsi di pulau Sumatera hampir mayoritas menghasilkan kelapa sawit dengan jumlah jutaan ton. Jumlah terbanyak hasil panen dihasilkan oleh provinsi Riau yang menyentuh angka hampir 10 juta ton kelapa sawit. Dengan begitu total hasil panen dan produksi kelapa sawit satu tahun kurang lebih sebanyak 41,83 juta ton.
Ekspor Komoditas Sawit Jadi Sumber Kelangkaan Minyak Goreng
Di atas kertas, baik dari luas lahan dan produksi kelapa sawit di Indonesia sudah sangat mencukupi permintaan nasional. Kebutuhan 16,10 juta ton hasil produksi kelapa sawit, termasuk minyak inti kelapa sawit, tentu saja dapat dengan mudah dipenuhi oleh total produksi perkebunan nasional yang mencapai 41 juta ton lebih.
Akan tetapi pada kenyataanya jumlah tersebut belum mampu mencukupi konsumsi masyarakat. Hal itu dikarenakan sebanyak 31,60 juta ton produksi kelapa sawit justru diekspor oleh pemerintah. Melansir dari laporan Kementerian Pertanian ekspor kelapa sawit mentah yang diolah sebagai minyak sebesar 18,00 juta ton.
Kemudian Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi menyebutkan sebanyak 13,60 juta ton, kelapa sawit diekspor sebagai bahan baku biodiesel. Sehingga tersisa sekitar 10,23 juta ton produksi kelapa sawit untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Jumlah minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh negeri sendiri dari sisa produksi sawit tentu saja belum mampu memenuhi permintaan konsumsi masyarakat.
Memperbaiki Tata Kelola Industri Sawit Melalui DMO
Menjawab kelangkaan minyak yang ada di Indonesia, Kementerian Perdagangan mengubah kebijakan domestik market obligation (DMO) minyak goreng dari 20% menjadi 30%. DMO merupakan kewajiban badan usaha untuk mengalokasikan 30% produksi sawit mereka untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri. Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi mengatakan bahwa awal maret total ekspor CPO mulai menurun, dan Ia juga memastikan industri penghasil minyak goreng memiliki stok yang cukup agar keadaan segera kembali normal.
Dengan menaikan angka DMO menjadi 30%, pemerintah memberikan jaminan lebih besar kepada produsen minyak goreng atas ketersediaan bahan baku. Akan tetapi sebelum penerapan kebijakan DMO 30% ini diberlakukan, alangkah lebih baiknya pemerintah melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap kebijakan DMO 20%. Sebab pemerintah tidak pernah mengumumkan perusahaan CPO mana saja yang tidak patuh terhadap kebijakan DMO. Fakta ini penting untuk diketahui publik sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam mengelola industri sawit.
Diedit oleh Ananditya Paradhi