Presiden Joko Widodo kembali mengumumkan terkait kenaikan iuran BPJS di tengah krisis pandemi yang melanda Indonesia setelah Mahkamah Agung (MA) sempat membatalkan kenaikan iuran per 1 April 2020. Keputusan ini didasarkan pada Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sontak kebijakan baru ini menuai kontroversi di tengah kondisi ekonomi yang dirasa kurang stabil. Masyarakat merasa kebijakan ini dikeluarkan tidak tepat waktu. Sebab, bukan rahasia umum lagi jika pandemi ini telah berdampak pada segala sektor, tak terkecuali sektor ekonomi. Lantas, bagaimana pemberitaan media daring terkait hal ini? Dan seperti apa ungkapan hati warganet terkait kebijakan ini? Berikut pantauan Netray.
Kenaikan Iuran BPJS di Media Pemberitaan
Netray memantau pemberitaan terkait topik iuran BPJS pada tanggal 13-17 Mei 2020. Pada rentang waktu tersebut terdapat 273 artikel dengan total 54 media berita yang memberitakan terkait naiknya iuran BPJS. Tiga media berita yang paling banyak menerbitkan berita ini antara lain, ID Investing, Tribun News, dan CNN Indonesia.
Kebijakan ini mencuri perhatian masyarakat dan media berita daring karena sebelumnya Mahkamah Agung (MA ) telah membatalkan kenaikan iuran ini per tanggal 1 April 2020. Akan tetapi, kenaikan ini kembali diumumkan di tengah krisis pandemi yang sedang melanda sehingga pengumuman ini membuat masyarakat terkejut.
Dari grafik di atas, diketahui topik ini ramai diperbincangkan pada 14 Mei 2020 dengan total sentimen positif, neutral, dan negatif yang hampir sama. Hal ini dapat dilihat pada grafik sentiment trend yang menunjukkan jumlah sentimen negatif tidak terlalu jauh dibanding jumlah sentimen positif. Perbaikan layanan hingga menjaga keberlanjutan program BPJS menjadi alasan pemerintah menaikan iuran ini.
14 Mei 2020: Puncak Pemberitaan Naiknya Iuran BPJS
Naiknya iuran BPJS di tengah krisis pandemi ini dinilai kurang tepat oleh beberapa pihak. Meski resmi naik per 1 Juli 2020, masyarakat tetap merasa dibebankan dengan pengumuman kenaikan di tengah ekonomi yang kurang stabil akibat pandemi. Tak sedikit pihak yang meminta Presiden Joko Widodo untuk mengkaji ulang kebijakan ini.
Banyak pihak yang merasa dipermainkan dengan kebijakan ini. Pasalnya, pembatalan kenaikan yang baru saja diresmikan MA per tanggal 1 April 2020 diubah kembali dengan keputusan baru yang akan resmi per 1 Juli 2020. Putusan MA Nomor 7/P-HUM/2020 tidak menghendaki problematika keuangan BPJS Kesehatan dibebankan kepada peserta karena BPJS Kesehatan dianggap perlu membenahi manajemen, fraud, dan kecurangan peserta. Dengan ini, apabila Presiden tetap meresmikan kebijakan kenaikan iuran bisa saja dianggap melanggar konstitusi dan menentang keputusan peradilan.
Perbaikan Layanan menjadi Salah Satu Alasan Naiknya Iuran
Di balik pro kontra yang beredar, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memberikan penjelasan terkait alasan naiknya iuran BPJS. Selain untuk melakukan perbaikan layanan hingga membenahi operasional BPJS yang defisit, pemerintah juga menjamin tidak akan adanya penolakan pasien seperti halnya yang terjadi sebelumnya. Pemerintah merasa, saat ini negara juga dalam keadaan sulit di tengah pandemi sehingga naiknya iuran dua dari tiga golongan ini diharapkan menjadi semangat solidaritas.
Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34. Dengan rincian:
1. Iuran peserta mandiri kelas I naik, dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.000.
2. Iuran peserta mandiri kelas II meningkat, dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000.
3. Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.
Kenaikan Iuran BPJS di Twitter
Selain pemberitaan di media daring, topik ini juga ramai diperbincangkan oleh warganet Twitter di rentang waktu yang sama. Netray memantau topik ini dengan kata kunci ‘iuranbpjs’, ‘bpjs naik’, dan ‘iuran bpjs’. Dalam waktu tersebut, ditemukan sebanyak 41.9k tweets dengan didominasi oleh sentimen negatif.
Terlihat dari grafik di atas, perbincangan topik ini memuncak pada tanggal 14 Mei 2020. Cuitan masyarakat yang merasa dipermainkan hingga dizalimi pemerintah ramai diperbincangkan pada waktu tersebut. Terlihat cuitan @CNNIndonesia, @Amien_Rais, dan @Vivacoid menjadi akun yang banyak dibagikan kembali oleh warganet dalam mengkritik keputusan Presiden Joko Widodo.
Akun @fadlizon, yang ramai di-retweet, melontarkan kritikannya terhadap kebijakan ini dan meminta Presiden untuk membatalkannya. Selain itu, banyak warganet yang merasa kenaikan ini telah melanggar undang-undang karena kebijakan ini sempat dibatalkan sebelumnya oleh MA.
Seruan untuk mempertimbangkan kembali dan mengkaji ulang kebijakan di tengah pandemi tidak henti disuarakan warganet. Kondisi ekonomi yang semakin parah akibat Covid-19 menjadi alasan keberatannya masyarakat menerima hal ini.
Tagar #iuranbpjs sempat menjadi trending twitter pada 15 Mei 2020. Banyak warganet yang mengeluhkannya. Namun, ada pula warganet yang tidak menyalahkan atas kenaikan iuran ini. Seperti cuitan di atas, pada peak time 15 Mei pukul 9.00 WIB sentimen positif sempat mendominasi dengan cuitan warganet yang mengungkapkan manfaat yang didapat dari BPJS dan dukungan untuk pemerintah dalam subsidi anggota kepesertaan yang aktif.
Pada jaringan percakapan di atas dapat diketahui akun @jokowi dan @BPJSKesehatanRI menjadi akun yang paling banyak ditandai warganet terkait topik ini.
Demikian hasil pantauan media monitoring Netray terkait naiknya iuran BPJS pada portal News dan Twitter selama 13-17 Mei 2020. Kebijakan yang diputuskan di tengah krisis pandemi dirasa kurang pas oleh masyarakat. Keputusan pemerintah dengan menaikkan iuran dua dari tiga golongan dianggap melanggar konstitusi dan menentang peradilan. Masyarakat merasa dipermainkan dengan putusan naiknya iuran di tengah pandemi global ini. Alasan perbaikan layanan hingga jaminan tidak adanya penolakan pasien masih dirasa kurang pas dalam situasi ini. Dengan demikian, sampai saat ini kebijakan ini dirasa masih perlu dipertimbangkan kembali.
Gambar sampul artikel oleh: https://makassar.tribunnews.com