Di saat sejumlah sektor memberi berita buruk selama pandemi, sektor perikanan laut Indonesia dikabarkan mengalami kenaikan produksi sebesar 7,6% pada tahun 2020. Selain itu, angka ekspor juga meningkat sebesar 6,6% di tahun yang sama. Ironisnya justru jumlah konsumsi ikan masyarakat Indonesia terbilang sangat rendah apabila dibandingkan dengan negara lain khususnya negara produsen ikan laut dunia.
Menurut laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di tahun 2020 volume produksi ikan di Indonesia berada di angka 7.137.110,14 ton. Jumlah ini melonjak 7,6% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mampu memproduksi 6.630.123,48 ton. Dan seperti yang sudah diketahui bahwa pada dua tahun tersebut dunia sedang mengalami pandemi Covid-19.
Kenaikan jumlah produksi tersebut tentu saja mempengaruhi jumlah ekspor ikan di Negeri Bahari ini. Di tahun 2020 di tengah krisis ekspor ikan yang dialami oleh beberapa negara eksportir lainnya, Indonesia justru mengalami kenaikan ekspor sebesar 6,6%. Hal ini berbanding terbalik dengan negara eksportir lainnya seperti Tiongkok turun 7,8%, Norwegia turun 7,5%, Vietnam turun 2,1%, India turun 15,1%, Thailand turun 2,2%, dan Ekuador turun 1,5%.
Tahun 2020, jumlah ekspor ikan Indonesia bahkan mencapai angka lebih dari 1,2 juta ton. Menurut Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Artati Widiarti mengungkapkan bahwa peningkatan peringkat eksportir Indonesia ini merupakan pencapaian yang luar biasa. Hal tersebut tentu saja merupakan hasil kolaborasi intensif antara eksportir, pemerintah dengan seluruh stakeholders yang terlibat.
Dari 1.263 juta ton ekspor ikan di tahun 2020, komoditas ekspor terbanyak yakni udang dengan volume ekspor mencapai 18,9% atau 239.282.016 kg. Komoditas unggulan berikutnya ialah Tuna, Tongkol, Cakalang (TTC) dengan kisaran 195,76 juta kg, rumput laut sebesar 195,57 juta kg, dan Cumi, Sotong, Gurita (CSG) sebesar 140,04 juta kg.
Menurut laporan KKP, nilai ekspor udang pada tahun 2020 mencapai USD 2,04 miliar. Sedangkan pada nilai ekspor komoditas TTC sebesar USD 724 juta, rumput laut sebesar USD 279.6 juta, dan CSG sebesar USD 509,2 juta.
Ironi Negeri Bahari
Statistik volume produksi dan ekspor di atas memberi dasar bahwa Indonesia merupakan salah satu produsen ikan laut utama di dunia. Bahkan ketika produksi menurun di tahun 2019, Indonesia masih menduduki peringkat ketiga sebagai negara penghasil ikan terbesar di dunia menurut data Daily Record.
Indonesia berada di bawah China yang mampu menghasilkan 58,8 juta metrik ton dan India sebesar 9 juta metrik ton dalam satu tahun. Meski hanya memiliki luas perairan sebesar 2,8% dari total luas wilayah, China mampu lebih unggul jauh dalam memproduksi komoditas bidang ini. Teknologi akuakultur yang diterapkan negeri Tirai Bambu menjadi andalah dalam meningkatkan produksi ikan laut.
Namun, dibalik berita-berita baik tersebut, justru terselip ironi yang tak terperi terkait tingkat konsumsi domestik hasil laut Indonesia. Jumlah konsumsi ikan pada masyarakat Indonesia terbilang rendah. Baik secara komparasi antara produksi dan konsumsi dalam negeri maupun dibanding dengan negara lain, terutama dengan negara yang memiliki tradisi maritim yang kuat.
Berdasarkan data KKP pada tahun 2019, Angka Konsumsi Ikan (AKI) nasional sebesar 54,5 kg per kapita. Dari besaran tersebut, 16 dari 34 provinsi memiliki angka konsumsi di bawah rata-rata, dengan angka terendah pada Provinsi D.I Yogyakarta yang hanya sebesar 33.35 kg per kapita.
Sedangkan wilayah dengan konsumsi tertinggi adalah Provinsi Maluku dengan rata-rata perkapita sebesar 72,76 kg. Apabila grafik di atas dicermati lebih dalam lagi, seluruh wilayah di Pulau Jawa berada di bawah rata-rata nasional. Padahal 50% lebih populasi Indonesia terkonsentrasi di pulau ini.
Jadi meskipun Provinsi Maluku hingga Kalimantan Tengah berada di atas rata-rata nasional, tingkat populasi yang masih kalah jauh dari Pulau Jawa memberi gambaran bahwa masyarakat Indonesia secara umum memiliki tingkat konsumsi ikan yang rendah.
Kemiripan wajah juga ditemukan kala mengulik data yang dihimpun oleh worldatlas.com pada tahun 2018. Indonesia tercatat menduduki urutan sembilan sebagai negara dengan konsumsi ikan terbesar di dunia. Posisi ini terasa ironis mengingat terdapat sejumlah negara dengan kapasitas volume produksi di bawah Indonesia tetapi justru bertengger di atas negara kita dalam daftar tersebut.
Apabila dibandingkan dengan jumlah produksi jenis tangkap laut seperti yang dilaporkan oleh KKP, jumlah konsumsi ikan Indonesia di tahun 2018 hanya sebesar 2,02% dari total produksi jenis tangkap laut. AKI nasional di tahun 2018 menurut data KKP hanya sebesar 50,69 kg per kapita dengan jumlah 16 provinsi berada di bawah rata-rata. Mengapa demikian?
Beberapa faktor diklaim sebagai penyebab rendahnya jumlah AKI masyarakat Indonesia. Menurut Dirjen pengolahan dan hasil perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, salah satu penyebab tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih dalam kategori rendah adalah minimnya infrastruktur perikanan, seperti pelabuhan, pasar perikanan, dan transportasi untuk distribusi hasil perikanan.
Benarkah demikian? Salah satu provinsi dengan jumlah AKI rendah di tahun 2019, yakni Jawa Tengah memiliki nilai AKI yang hanya sebesar 35,99 per kapita. Namun, di balik ironi ini jumlah produksi ikan jenis tangkap laut di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2019 justru menduduki 10 besar dengan jumlah produksi sebesar 270.112,76 ton.
Apabila dilihat dari infrastruktur seperti jumlah pelabuhan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki jumlah pelabuhan dengan TPI terbanyak di wilayah Jawa, bahkan termasuk dalam urutan kedua nasional setelah Provinsi Aceh.
Berdasarkan laporan BPS tahun 2019, jumlah pelabuhan di provinsi ini mencapai 78 dengan total 76 di antaranya merupakan pelabuhan yang memiliki TPI. Lantas faktor lain seperti apakah yang mempengaruhi daya konsumsi ikan masyarakat, terutama di Jawa Tengah?
Berdasarkan laporan penelitian dari Universitas Diponegoro, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya AKI masyarakat Semarang. Meskipun kota ini merupakan kota strategis dalam pergerakan ekonomi di bidang perikanan karena ditunjang keberadaan pelabuhan Tanjung Mas dan pusat perdagangan ikan, yaitu Pasar Kobong.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang menjadi penyebab rendahnya tingkat konsumsi ikan masyarakat Semarang ialah terkait kendala pembelian dan pengaruh harga. Sebanyak 32% respondens mengalami kesulitan pembelian ikan laut segar lantaran kurangnya pasokan atau tidak meratanya distribusi ikan laut, terutama di wilayah Gunung Pati dan Wijen.
Terkait harga, sebanyak 100% responden setuju untuk beralih ke bahan substitusi, seperti ayam apabila harga ikan laut merangkak naik. Dengan demikian harga ikan di pasaran sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
Jika ditilik berdasarkan data terbaru dari Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP), harga ikan laut dari kapal cukup bervariasi. Harga termahal yakni pada komoditas cumi-cumi Rp.90.0000/kg dan teri sebagai komoditas termurah dengan harga Rp.11.250/kg.
Rata-rata harga ikan laut yang mencapai di atas 50 ribu rupiah tentu saja menjadi pertimbangan bagi masyarakat untuk membeli bahan pangan ini. Meski dikenal sebagai sumber protein tertinggi, justru dengan harga yang sulit dijangkau terlebih di masa pandemi seperti ini, masyarakat akan beralih pada sumber protein lainnya, seperti daging ayam.
Hal ini sungguh menjadi ironi apabila sebagai negara produsen ikan terbesar ketiga bahkan eksportir ikan terbesar urutan 8, Indonesia masih saja memiliki AKI yang begitu rendah dibanding negara produsen ikan terbesar lainnya. Upaya pemerintah untuk meningkatkan AKI menjadi 62,50 kg/kapita/tahun di tahun 2024 dibarengi dengan gencatan program nasional Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (GEMARIKAN). Dengan demikian, upaya ini juga diharapkan mampu meningkatkan kualitas SDM dan untuk menyerap produksi ikan yang dihasilkan nelayan dan pembudidaya lokal sehingga mendukung keberlangsungan usaha perikanan di Indonesia.
Diedit oleh Ananditya Paradhi