Demokrasi modern tak ubahnya sebuah penanda kosong. Siapapun dapat menubuhkan makna atau memberikan predikat tambahan sesuai kebutuhan masing-masing. Dengan perkembangan teknologi informasi, demokrasi sekarang menemukan mahkota baru bernama ‘demokrasi digital’.
Meskipun istilah definitif atas ‘demokrasi digital’ masih terlalu jauh untuk menemukan dasar kongkritnya, sejumlah fenomena sudah menghadirkan frase ini sebagai kerangka kerja yang sistemik. Fenomena-fenomena ini dianggap sebagai bukti nyata kehadiran demokrasi digital meskipun sekali lagi publik masih berhak memperdebatkannya.
Contoh terbaru yang muncul atas inisiatif ini adalah polemik influencer atau buzzer yang mendapat proyek dari pemerintah. Klaim pemerintah adalah proyek ini dapat mendorong perluasan informasi atas kegiatan serta program dari pemerintah. Dengan sendirinya akan berpengaruh pada demokrasi digital.
“Demokrasi Digital” di Mata Warganet
Berkaca pada kondisi di atas, Netray melakukan pemantauan terhadap pandangan publik yang kali ini diwakili oleh warganet. Bagaimanapun juga warganet adalah obyek sekaligus subyek ‘demokrasi digital’. Membaca apa yang berada di benak warganet akan memberi gambaran yang cukup representatif terkait wacana yang dihembuskan oleh pemerintah ini.
Melalui kata kunci “demokrasi”, “digital”, “buzzer”, dan “influencer” selama periode 28 Agustus hingga 3 September 2020, Netray menemukan setidaknya lebih dari 1.000 cuitan. Cuitan ini mendapat respon sebanyak 32,9K baik retweet, likes, dan reply. Termasuk juga secara potensial dapat menjangkau 19.8 juta akun pengguna.
Karena warganet sendiri adalah bagian dari dunia digital, menentukan sentimen dalam kasus ini cukup kompleks. Apa yang mereka peragakan dalam platform sosial media, seperti kebebasan berpendapat, adalah bentuk dari demokrasi. Sedangkan bersikap skeptis terhadap kebijakan pemerintah sangat diperlukan di masa-masa sepreti ini. Untuk itu hasil pemantauan sentimen yang diperoleh Netray cukup berimbang.
Kasus ini semakin kompleks dengan munculnya pemberitaan bahwa Istana memberikan proyek kepada artis kawakan Yosi ‘Project Pop’ Mokalu untuk menjadi ketua tim influencer. Proyek ini dianggap hanya pemborosan anggaran negara saja. Yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat yang lebih urgent.
Penambahan kata kunci “yosi” pada pemantauan Netray melambungkan data yang sudah didapat sebelumnya. Perbincangan di sosial media Twitter meningkat 50 persen dengan kata kunci ini. Artinya, kasus yang menimpa Yosi Project Pop memberikan cita rasa tersendiri sehingga menarik publik.
Tanggapan Pemerintah dalam Media
Melihat kegaduhan di sosial media, pemerintah mau tak mau harus menanggapinya. Kantor Staf Presiden (KSP) menyebutkan bahwa keberadaan influencer di pemerintah tidak otomatis anti demokrasi. Apa lagi di era digital semacam ini, mereka bisa memainkan peran yang sangat penting.
Sikap pemerintah sepertinya juga mendapat dukungan dari sejumlah parpol. Terutama partai anggota koalisi. Seperti pernyataan dari anggota fraksi partai Nasional Demokrat yang menyebutkan bahwa sah-sah saja pemerintah menggunakan jasa influencer, jika itu digunakan untuk sosialisasi program.
Yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan jasa influencer adalah apakah keberadaan mereka membebani anggaran negara atau tidak. Pasalnya, jika ujung tombak digital ini ternyata menggunakan anggaran lebih banyak dari pada pemanfaatannya, mungkin pemerintah harus berpikir ulang lagi.
Media massa nampaknya melihat wacana pemanfaatan jasa influencer ini sebagai isu yang serius. Selain minimnya laporan yang diberitakan, sentimen terhadapnya juga cenderung positif. Keberadaan influencer sebagai corong pemerintah tak lantas menggantikan posisi media massa selaku pilar demokrasi.