Setelah sekian lama menjadi polemik lantaran pasal karet yang memakan banyak korban, akhirnya pada 15 September kemarin, Badan Legislasi DPR RI bersama dengan Pemerintah dan DPD RI menyepakati usulan perubahan terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (revisi UU ITE) masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Tentu hal ini menjadi angin segar bagi masyarakat terutama para korban UU ITE yang telah merasakan ganasnya pasal ini.
Sebelum jauh membahas poin-poin yang akan direvisi, Media Monitoring Netray akan mencoba menelusuri jejak wacana revisi UU ITE ini serta beberapa hal yang mendorongnya; termasuk bagaimana pasal-pasal UU ITE tetap memakan banyak korban meski sempat direvisi di tahun 2016 dan bagaimana korban akhirnya terbebas dari ancaman hukuman pasal sapujagad ini.
Menilik Statistik Kasus UU ITE Sepanjang 2016-2020
Disahkan oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 April 2008, UU ITE atau Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 ini berisi 13 bab dan 53 pasal. UU ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum akan informasi dan transaksi elektronik sehingga kejahatan siber yang sebelumnya begitu marak diharapkan dapat diberangus dengan UU ini. Sejak diundangkan, jumlah kasus UU ITE berdasarkan catatan SAFEnet hingga 2020 mencapai 350 kasus.
Namun, dalam perjalanannya UU ini laksana sapujagad yang dapat digunakan untuk menjerat siapa saja, khususnya terkait penghinaan dan pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3). Kasus Prita Mulyasari yang harus berurusan dengan pengadilan setelah menulis komplain terhadap layanan rumah sakit karena dianggap mencemarkan rumah sakit menjadi awal mula polemik pasal karet ini. Sejumlah lembaga pun meminta MK membatalkan Pasal 27 ayat (3) yang dinilai mengancam kebebasan berekspresi yang seharusnya dijamin konstitusi. Hingga revisi UU ITE tahun 2016, Pemerintah dan DPR tetap sepakat mempertahankan pasal pencemaran nama baik tersebut. Lalu bagaimana dengan statistik kasus UU ITE sepanjang 2016-2020? Masihkah pasal 27 ayat (3) menjadi momok kebebasan berekspresi masyarakat?
Berdasarkan data statistik yang Netray peroleh dari SAFEnet, terlihat bahwa sejak 2016, kasus UU ITE masih didominasi oleh laporan defamasi atau pencemaran nama baik yang merujuk Pasal 27 ayat (3) sebanyak 136 laporan dan Pasal 310-311 KUHP sebanyak 42 laporan, serta laporan ujaran kebencian yang merujuk Pasal 28 ayat (2) sebanyak 87 laporan. Artinya, keampuhan sejumlah pasal sapujagad tersebut bukanlah omong kosong belaka.
Bahkan, dari daftar profesi yang paling banyak diadukan dalam kasus ini mulai dari warga, aktivis, buruh, hingga jurnalis menunjukkan bahwa penilaian soal pasal UU ITE lebih banyak mengancam kebebasan berekspresi masyarakat ketimbang menjamin kepastian hukum akan informasi dan transaksi elektronik pada umumnya, dapat dibenarkan.
Dalam daftar kasus yang diterbitkan SAFEnet, kita juga dapat melihat bahwa sebagian besar kasus UU ITE yang dilaporkan sepanjang 2016-2020 bersumber dari media sosial. Paling banyak adalah unggahan dari Facebook. Dalam kaitannya dengan produk jurnalistik, media online juga menjadi sasaran. Tak heran apabila pada awal diundangakan, Dewan Pers khawatir UU ini berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat. Oleh karena itu, revisi UU ITE beberapa kali diserukan termasuk salah satunya oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia karena UU ini kerap menjadi alat untuk mengkriminalisasi jurnalis.
Kekacauan sejumlah pasal UU ITE juga dapat dilihat dari bagaimana proses hukum dari kasus-kasus ini, di mana sebagian besar hanya mandek di kepolisian. Jika dilihat dari status penahanan/hukuman, sebesar 65% kasus UU ITE di 5 tahun terakhir hanya menggantung tanpa keterangan. Bukankah hal ini seperti lingkaran kesia-siaan; pasal karet, korban berjatuhan dan proses hukum mengambang? Demikian gambaran kasar alasan mendasar sejumlah organisasi dan perorangan meneriakkan revisi UU ITE.
Bahkan menilik aduan kasus dan cerita yang dibagikan para korban UU ITE di https://semuabisakena.jaring.id/, dapat diketahui bahwa sebagian besar korban yang tidak cukup dana untuk menyewa pengacara hanya mengandalkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk melepaskannya dari jeratan UU ITE. Tak hanya memakan biaya, waktu, dan tenaga, terjebak dalam kasus UU ITE juga menyisakan trauma psikologis.
Meski pada beberapa kasus, Netray juga melihat tingginya dukungan netizen di media sosial Twitter dalam mengawal sejumlah aktivis hingga jurnalis yang terseret kasus ini. Seperti yang terekam media monitoring Netray dalam kasus Dandhy Laksono dan Ananda Badudu pada 2019 atau Jerinx pada 2020 lalu. Peran netizen dalam mengawal kasus UU ITE memang tak sedikit yang akhirnya menuai keberhasilan. Petisi yang digulirkan netizen melalui change.org merekam perjuangan mereka dalam hal ini. Ada yang memperoleh kemenangan ada pula yang masih bergulir dan belum mendapat hasil.
Namun, haruskah netizen turun tangan untuk setiap kasus UU ITE yang tidak sedikit memakan korban ini? Tentu saja pengkajian ulang terhadap UU ini menjadi alternatif terbaik.
Mengawal Topik Revisi UU ITE di Media
Dari pantauan media monitoring Netray, wacana revisi UU ITE terlihat deras sejak Februari 2021. Hal ini menyusul arahan Presiden Joko Widodo pada 15 Februari yang disampaikan dalam rapat dengan pimpinan dari TNI dan Polri. Jokowi meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo selektif dalam menerima aduan warga soal UU ITE serta membuat pedoman UU ITE agar pasal-pasal yang ada di dalamnya tidak multitafsir. Apabila Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat ia akan meminta DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini.
Kemenko Polhukam kemudian ditugaskan untuk membentuk tim kajian UU ITE. Di antaranya adalah tim penyusun kriteria implementasi pasal-pasal dalam UU ITE dan tim rencana revisi yang akan melibatkan sejumlah elemen masyarakat, seperti pakar dan LSM untuk mendiskusikan pasal-pasal yang dianggap karet dan diskriminatif.
Mengutip laman aptika.kominfo.go.id, Menko Polhukam mengatakan ada empat pasal yang akan direvisi yaitu pasal 27, 28, 29, dan 36. Empat pasal tersebut mengatur kesusilaan, fitnah dan pencemaran nama baik, ujaran kebencian, hingga ancaman secara elektronik. Selain itu, akan ada penambahan pasal 45C. Menurutnya revisi serta penambahan pasal berguna untuk menghilangkan multitafsir pada UU ITE.
Namun, sejak usulan revisi UU ITE disepakati masuk Prolegnas 2021 oleh Baleg DPR dan Pemerintah, belum ada perkembangan lebih lanjut mengenai topik ini. Media pemberitaan terpantau sepi, demikian pula dengan netizen di media sosial Twitter yang terlihat tidak begitu antusias mengawal isu ini.
Kekhawatiran serupa diutarakan Damar Juniarto dalam tweet-nya menanggapi masuknya revisi UU ITE ke Prolegnas Prioritas 2021. Ia merasa senang sekaligus cemas apabila upaya revisi nantinya tidak seperti yang diharapkan banyak orang. Maka, ia meminta warganet untuk tetap mengawal revisi ini. Namun, tweet-nya tidak mendapat banyak impresi. Entah karena membicarakan isu ini terlalu dini atau masyarakat memang belum begitu tertarik untuk berkomentar.
Demikian pantauan Netray. Semoga upaya pemerintah menuju keadilan yang lebih beradab dapat kita rasakan nantinya. Jangan lupa, tetap kawal bersama.