Ustadz Abdul Somad dikabarkan ditolak masuk ke negara Singapura. Otoritas Imigrasi dan Pemeriksaan Singapura (ICA) menggiring sosok penceramah yang namanya kerap disingkat menjadi UAS ini ke sebuah ruangan. Dari sana UAS bersama rombongan dikembalikan ke Tanah Air melalui jalur laut.
Respon publik dalam negeri terhadap berita ini bak gelombang tsunami. Berdasarkan pemantauan media monitoring Netray di linimasa Twitter pada periode 14 Mei hingga 20 Mei, warganet telah mengunggah 155,262 twit yang mengandung setidaknya kata kunci “uas”, “abdul somad”, dan “singapura”.
Perbincangan warganet mulai muncul sejak tanggal 17 Mei 2022 dengan twit berkisar di angka 10.000. Sehari setelahnya total twit harian mencapai jumlah di atas 45.000 yang bertahan selama 3 hari hingga akhir periode pemantauan.
Volume perbincangan tidak hanya dilihat dari jumlah twit. Respon terhadap twit dengan kata kunci juga memberi gambaran yang lebih utuh terkait penerimaan warganet atas berita penolakan UAS masuk ke negara Singapura. Netray mengumpulkan setidaknya 151,8 juta respon diberikan oleh warganet dalam bentuk reply, retweet, dan favorites. Dengan volume tersebut, kata kunci yang sudah disebutkan sebelumnya secara potensial dapat menjangkau minimal 186,8 juta akun berbahasa Indonesia.
Lantas bagaimana pandangan masyarakat Twitter Indonesia terhadap kasus ini? Secara garis besar reaksi warganet bersentimen negatif. Pemantauan Netray menemukan 97,054 twit ditulis dengan sentimen negatif. Atau sekitar 65% dari total twit yang diunggah warganet. Sedangkan twit bersentimen positif hanya berjumlah 19.799 unggahan saja. Sisanya memilih untuk bersikap netral.
Melacak Perbincangan Warganet Terhadap Kasus Abdul Somad
Akun politisi Fadli Zon, yakni @fadlizon menjadi akun yang mendapat impresi terbesar dari warganet untuk twit bersentimen negatif. Ia menyebut bahwa kejadian ini merupakan penghinaan yang dilakukan Singapura terhadap seorang warga negara Indonesia yang terhormat. Pihak Kedutaan Besar Indonesia di negara tersebut harus memberi penjelasan dan tidak lepas tangan.
Begitu pula dengan akun @Hilmi28 milik seorang da’i Hilmi Firdausi. Baginya Singapura harus belajar dari Malaysia dan Brunei Darussalam yang justru memberikan penghargaan terhadap Abdul Somad. Ia juga menyayangkan jika kasus UAS ini “digoreng” secara luar biasa hingga menutupi berita penangkapan mafia minyak goreng.
Twit @Hilmi28 tersebut mendapat dukungan dari akun @ekowboy2. Ia menilai serangan terhadap UAS secara membabi-buta hanya bertujuan untuk menutupi kasus mafia migor. Meskipun terdengar konspiratif, nyatanya narasi-narasi semacam ini memiliki banyak pendukung. Terutama bagi mereka yang tidak menyukai orang-orang yang berkuasa di pemerintah saat ini.
Bahkan rasa benci ini nampaknya sudah mendarah daging bagi sejumlah pihak. Daftar Top People, yang mengangkut sejumlah nama yang paling banyak disebut warganet dari twit mereka, memperlihatkan permasalahan ini. Selain menyebut tokoh-tokoh oposan seperti Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Hilmi tadi, warganet kontra bahkan membawa-bawa nama Presiden Joko Widodo dan Basuki “Ahok” Purnama yang tak ada hubungannya dengan pencegahan UAS masuk Singapura.
Kelompok ini seperti tidak ingin jika publik hanya tahu perihal kasus Abdul Somad. Disebutkan oleh warganet bahwa Singapura juga mencegah pendiri relawan Teman Ahok, yakni Amalia Ayuningtyas dan Richard Handris Saerang, kala ingin masuk ke negara tersebut. Tak sedikit pula yang berharap Ahok sendiri juga dicegah jika ingin ke Singapura karena terkait kasus SARA dulu.
Posisi Media Massa dalam Wacana
Tak hanya di linimasa Twitter, pemberitaan media massa daring pun dipenuhi sentimen negatif. Dari 1,498 berita yang diterbitkan 87 portal berita daring, 853 diantaranya ditulis dengan sentimen negatif. Hanya 254 berita yang bertendensi positif dan sisanya merupakan pemberitaan yang bersifat netral.
Laman Suara menjadi portal berita yang paling banyak mengangkat masalah ini. Selama 7 hari pemantauan, Suara sudah menerbitkan 164 artikel sedangkan Tribun News di posisi kedua hanya menerbitkan 83 artikel dan Detik cuma 79 artikel. Artinya peliputan yang dilakukan laman Suara hampir dua kali lipat dari rata-rata pemberitaan yang dilakukan oleh media massa daring dalam negeri.
Posisi media massa untuk kasus yang sensitif semacam ini memang harus mendapat perhatian yang sangat ekstra. Pasalnya isu seperti ini sangat mungkin memperlebar jurang disintegrasi politik yang selama ini menjadi masalah di Indonesia. Media massa sekiranya bisa secara berimbang memberitakan kasus dengan mengangkat sumber-sumber yang kredibel.
Demikian hasil analisis Netray, simak analisis terkini lainnya melalui https://analysis.netray.id/ dan analisis mendalam Netray melalui https://medium.com/@netrayID.
Diedit oleh Winda Trilatifah