Stres dan jenuh, kedua kata sifat ini mungkin mewakili kondisi siswa saat sekolah daring di masa pandemi. Bagaimana tidak? Sejak pertengahan Maret 2020 hingga kini, metode pembelajaran di Indonesia diubah menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau sekolah daring. Tentunya, hal ini karena kondisi pandemi yang semakin meluas sehingga PJJ diharapkan dapat meminimalisasi penularan virus Covid-19 pada sektor pendidikan.
Namun, beberapa hari lalu, dunia maya sempat digemparkan dengan adanya berita siswa SMA di Gowa, Sulawesi Selatan yang melakukan bunuh diri karena diduga mengalami depresi menghadapi banyaknya tugas saat PJJ.
Dengan adanya kejadian ini, Media Monitoring Netray mencoba memantau percakapan warganet Twitter terkait topik sekolah daring atau PJJ dalam sepekan terakhir. Seperti apa keluhan warganet tertait sekolah daring ini? Apa yang ingin diungkapkan warganet terkait hal ini? Merasa terbebani atau jenuh kah dengan metode pembelajaran ini? Berikut ulasan pantauan Netray.
Sekolah Daring dalam Pantauan Netray
Sebelumnya, Media Monitoring Netray sempat memantau pemberitaan terkait sektor pendidikan yang juga berimbas karena wabah Covid-19 dalam artikel Kabar Sektor Pendidikan Selama Pandemi Covid-19 selama periode Mei-Juni 2020. Pada artikel tersebut, Netray berfokus pada pemberitaan media berita dan portal Twitter terkait kabar sektor pendidikan selama 3 bulan masa pandemi. Kali ini, pada periode sepekan belakangan, 13-19 Oktober 2020 Netray memantau cuitan warganet perihal kelebihan dan kekurangan sekolah daring yang dirasakan warganet Twitter selama pandemi ini.
Kumpulan Top Words
Dengan kata kunci pjj, pembelajaran jarak jauh, dan sekolah daring Netray berhasil menghimpun beberapa cuitan warganet yang terangkum dalam dashboard. Pada tabel Top Words ditemukan kata tugas berada sejajar dengan kata sekolah dibaris utama. Hal ini menandakan bahwa kata ini memiliki intensitas yang tinggi pada cuitan warganet terkait topik ini.
Pada kolom di atas, terlihat beberapa cuitan warganet yang menyebutkan kata tugas dalam twitnya. Di dalam twit tersebut, sebagian besar warganet mengeluhkan jumlah tugas yang diberikan selama pjj terlampau banyak dibanding sekolah luring. Bahkan keluhan tersebut dicuitkan dengan kalimat sindirian, seperti yang diungkapkan akun @bucinnyaJayy “congrats tugas selama pjj udh tembus 100.”
Kata kangen juga menduduki Top Words pada topik ini. Ternyata, banyak juga warganet yang mengungkapkan keinginan untuk sekolah luring. Keinginan untuk bertemu teman dan belajar dalam kelas diungkapkan warganet dalam kata kangen tersebut.
Kata takut juga sering diungkapkan warganet dalam hal ini. Pada cuitan ini, warganet mengungkapkan beberapa ketakutan seperti guru meminta catatan, guru menanyakan materi yang dipelajari selama pjj, bahkan ada juga yang takut mendapat nilai jelek saat ujian.
Selain keluhan dan kegelisahan tersebut, ungkapan bernada positif juga dicuitkan warganet dalam kata semangat dalam menjalani sekolah daring.Untuk menghilangkan kejenuhan warganet menyempatkan bermain Twiitter dan memotivasi siswa lainnya untuk tetap semangat dalam menjalani PJJ.
Keluhan Sekolah Daring dari Warganet
Dari himpunan data yang dikalkulasi oleh Netray, dengan kata kunci tersebut ditemukan sebanyak 4.428 twit dengan jumlah sentimen negatif sebanyak 1.661 dan sentimen positif sebanyak 1.265. Meski tak berbanding banyak, cuitan bernada positif ini banyak disumbangkan oleh warganet yang saling menyemangati satu sama lain dengan twit melalui mobile phone. Sedangkan cuitan negatif banyak dikeluhkan warganet terkait kesusahan jaringan internet hingga susah menyerap materi pembelajaran.
Kumpulan keluhan yang berhasil disaring Netray pada topik ini merupakan sebagian kecil atau perwakilan komplain terhadap metode sekolah daring yang dirasakan siswa pada masa pandemi ini. Susah jaringan, susah menyerap materi, takut mendapat nilai jelek, hingga keinginan untuk sekolah luring diungkapkan siswa pada media sosial yang mungkin saja dapat ditilik guru atau pemerintah guna menjadi evaluasi.
Sekolah Daring untuk Dijadikan Evaluasi Bersama
Meski Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim telah memberikan kelonggaran terkait kurikulum pendidikan, nampaknya realitas di lapangan tak sesuai dengan kebijakan yang diberlakukan. Kurikulum adaptif yang ditawarkan Kementerian Pendidikan diharapkan mampu diterapkan oleh guru sesuai dengan kondisi dan kemampuan siswa. Selain itu, para guru juga dihimbau untuk mampu menyusun pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak didiknya. Sehingga siswa tidak akan merasa terbebani dengan tugas dari guru yang mengejar kurikulum nasional.
Gambar di atas yang merupakan salah satu dari kumpulan media terkait topik ini menjadi perwakilan keresahan dan keluhan siswa yang hingga kini masih sekolah daring. Dan dengan adanya kejadian siswa bunuh diri yang diduga depresi akibat tugas dan susahnya akses sekolah daring mampu menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk juga memperhatikan sektor pendidikan. Sehingga kejadian siswa stres hingga bunuh diri karena praktik kurikulum yang tak sesuai keadaan mampu diminimalisir. Tak hanya itu, guru dan orang tua sebagai pendamping terdekat sangat berperan penting untuk menjaga mental anak dalam masa pandemi ini.