Pekan lalu, publik Indonesia disuguhi sebuah pertunjukan uji kapabilitas dari dua elemen governance (kepemerintahan), yakni antara masyarakat sipil yang diwakilkan oleh Front Pembela Islam (FPI) dengan elemen administrasi pemerintahan daerah. Alasannya adalah saat FPI mengadakan kumpulan massa meski dalam situasi pandemi, justru dinilai tidak mendapat tindakan serius dari pemerintah. Sudah menjadi tugas negara untuk menegakkan aturan pembatasan sosial.
Buah dari kejadian ini adalah pencopotan sejumlah pejabat kepolisian dan klarifikasi oleh kepala daerah. Setidaknya dua Kapolda dari Metro Jaya dan Jawa Barat, yakni Nana Sudjana dan Rudy Sufahriadi dimutasi jabatannya. Sedangkan Gubernur Anies Baswedan mendapat panggilan untuk diinterogasi.
Konsekuensi lebih lanjut lagi yaitu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan instruksi bagi kepala daerah agar mematuhi protokol kesehatan. Bagi mereka yang lalai dapat dikenakan sanksi teguran hingga pencopotan jabatan. Hal ini menjadi upaya pemerintah agar kejadian FPI tidak terulang kembali.
Lantas bagaimana tanggapan masyarakat terhadap instruksi ini? Hal ini menjadi perhatian Netray Media Monitoring karena ada beberapa hal yang patut disayangkan berhubungan dengan kejadian ini. Pertama adalah masyarakat sipil yang tidak memperhatikan kebaikan yang lebih besar, administrasi pemerintah yang gagal mencegah kejadian tersebut, hingga tindakan reaksioner yang berpotensi kekisruhan regulasi.
Menyarikan Pendapat Netizen atas Instruksi Mendagri
Pemantauan Netray pada isu ini berlangsung dari tanggal 15 November hingga 22 November 2020. Selama pemantauan, ditemukan setidaknya 17 ribu cuitan yang mengandung kata kunci mendagri atau copot jabatan. Sedangkan puncak perbincangan terjadi pada tanggal 20 November.
Sejak berita pencopotan dua Kapolda yang berhubungan dengan kerumunan acara Rizieq Shihab, warganet banyak yang menanti manuver apa yang akan dipilih oleh Mendagri Tito. Mau tak mau, pejabat daerah dinilai juga harus bertanggung jawab. Salah satu pejabat daerah yang ramai diperbincangkan adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Namun anggapan masyarakat ini tidak selamanya tanpa sanggahan. Intelektual publik Andi Arief, justru memiliki posisi yang berseberangan dengan masyarakat. Ia menyebutkan bahwa pemanggilan Gubernur Anies oleh pihak kepolisian sebenarnya kurang tepat. Hanya Mendagri yang berhak melakukan tindakan tersebut.
Cuitan Andi Arief langsung mendapat respon yang masif dari warganet, dan hal ini mengantarkan akunnya masuk ke jajaran Top Accounts dari Netray Media Monitoring. Selain akun media Massa, sejumlah akun pribadi dengan profil tinggi juga ikut berkomentar. Akun politisi @hamdanzoelva seperti menyatakan sanggahan terhadap cuitan Andi Arief. Menurutnya pemberhentian kepala daerah harus melalui tahapan yang sangat panjang. Mulai dari kesepakatan di level DPRD hingga diputuskan di Mahkamah Agung.
Pendapat yang lebih netral disampaikan oleh @Dennysiregar7. Baginya lebih baik untuk menunggu hasil pemeriksaan polisi atas gubernur Anies Baswedan. Jika dari penyelidikan polisi ini diketahui bermasalah, baru Mendagri dapat membuat sanksi sesuai besaran kesalahannya. Dari teguran hingga copot jabatan.
Hingga akhirnya Tito Karnavian menerbitkan instruksi yang isinya memberi ancaman terhadap kepala daerah jika masih tidak bisa menerapkan aturan protokol kesehatan. Warganet kembali membanjiri platform sosial media begitu mendengar kabar ini.
Hanya saja lagi-lagi, tak sedikit dari warganet yang justru balik mempertanyakan legitimasi dari instruksi ini. Bagaimanapun posisi gubernur adalah pilihan rakyat. Sehingga opsi rapat DPRD menjadi masuk akal di sini. Daripada keputusan menteri yang menegasi sejumlah aturan undang-undang yang lain.
Hingga akhir masa pemantauan, isu mendagri dan wacana copot jabatan ini tetap dipenuhi perbincangan serupa. Penjelasan demi penjelasan dilontarkan untuk memperjelas fakta bahwa ada yang salah dalam keputusan penerbitan instruksi ini.
Perbincangan ini sendiri berhasil melibatkan banyak interaksi sosial di Twitter. Selama masa pemantauan setidaknya terjadi 18,8 juta kali impresi atas cuitan yang beredar. Dan perbincangan ini secara potensial menjangkau 115,3 juta akun.
Dengan banyaknya kritik terhadap wacana pencopotan jabatan bagi kepala daerah yang tidak disiplin menerapkan aturan pembatasan sosial ini, sangat wajar jika sentimen yang dihasilkan oleh Netray Media Monitoring berisi rapor merah. Terdapat 10.569 cuitan yang terindeks negatif. Sedangkan sentimen positif hanya diisi 2.763 cuitan saja.
Selama pandemi ini belum dapat teratasi, polemik semacam ini bisa saja terulang di kemudian hari. Ketegasan pemerintah hanya mungkin diwujudkan melalui penerapan regulasi yang ketat. Termasuk bagaimana mengatur masyarakat sipil yang memiliki potensi show off force seperti FPI.