Angan-angan reformasi TNI yang mencuat sejak 1998 dan diteguhkan melalui UU No.34 Tahun 2004, ternyata masih mendapat banyak ganjalan dewasa ini. Beberapa hari yang lalu, tepatnya Sabtu dini hari, 29 Agustus, sejumlah anggota TNI Angkatan Darat menyerang Polsek Ciracas, Jakarta Timur hingga menyebabkan sejumlah orang harus dilarikan ke rumah sakit dan kerugian material.
Penyerangan ini dipicu beredarnya kabar hoaks yang menyebutkan bahwa salah satu anggota TNI AD mengalami pengeroyokan hingga babak belur. Sejumlah anggota Angkatan Darat yang lain lantas bertindak reaksioner mendengar kabar tersebut. Dan akhirnya berujung peristiwa pengrusakan (gbr 1).
Aksi ini tentu sangat mencoreng nama TNI yang sedang membangun citra profesional sebagai bagian dari reformasi. Bagaimanapun juga setiap laporan yang ditulis oleh media massa tentang peristiwa tersebut, sebagian besar akan memberikan sentimen negatif kepada TNI. Lantas bagaimana Netray memandang kasus ini? Simak analisisnya di bawah ini.
Pembabakan Berita Penyerangan Polsek Ciracas
Melalui kata kunci penyerangan, polsek ciracas, prajurit tni ad, dan reformasi tni, media monitoring Netray menemukan 1.380 berita selama periode 25 – 31 Agustus 2020. Dari rentang pemantauan, berita yang mengandung kata kunci pertama kali muncul pada hari Sabtu 29 Agustus 2020 (gbr 2). Pemberitaan perdana dilakukan oleh CNBC Indonesia lepas tengah malam (gbr 3). Isi berita melaporkan penyerangan Polsek Ciracas yang diduga dilakukan oleh ratusan orang tak dikenal (gbr 4).
gbr 2
gbr 3 gbr 4
Portal berita susul-menyusul dalam meliput berita ini pagi harinya. Dan hingga pukul 9 pagi, pemberitaan masih berkutat situasi dan kondisi Polsek Ciracas termasuk kemungkinan korban lainnya (gbr 5). Media massa juga masih menggali siapa aktor di balik aksi penyerangan ini. TNI bahkan sempat menyanggah jika anggotanya menjadi pelaku penyerangan pada pukul 10 pagi (gbr 6).
gbr 5 gbr 6
Akan tetapi sedikit demi sedikit kasus ini mulai terkuak. Pertama, terkait motif penyerangan tersebut. Dugaan media adalah aksi ini sebagai balasan atas dikeroyoknya seorang anggota TNI sehingga ada dugaan bahwa pelaku penyerangan adalah anggota kesatuan (gbr 7). Padahal anggota yang diketahui berinisial MI dan berpangkat Prada ini hanya terjatuh dari kendaraan. Petinggi militer juga masih tak mau memberi komentar ketika ditanya wartawan terkait dugaan keterlibatan anggotanya, meski berjanji untuk transparan (gbr 8).
Lewat tengah malam, akhirnya muncul berita bahwa Pangdam Jaya mengakui jika anggota TNI terlibat dalam penyerangan ini (gbr 9). Penyerangan ini memang dilakukan oleh seratus anggota TNI yang berada di Cibubur, Jakarta Timur. Mereka termakan berita bohong meski sudah dijelaskan oleh Dandim setempat bahwa Prada MI hanya mengalami kecelakaan tunggal.
gbr 7 gbr 8
gbr 9
Puncak dari pemberitaan ini adalah saat Kasad Jenderal Andika Perkasa melakukan konferensi pers. Di sana ia berjanji akan menindak tegas siapa saja anggota TNI yang terlibat melalui sanksi pemecatan dan mengganti segala kerugian yang diakibatkan anggotanya (gbr 10-11). Hingga kemarin 31 Agustus kasus sudah terbuka lebar dan pemberitaan berisi proses-proses penyelesaian kasus penyerangan Polsek Ciracas tersebut.
gbr 10 gbr 11
Ke Mana Arah Reformasi TNI?
Melihat masih seringnya anggota TNI melakukan tindakan atau aksi yang tidak profesional, pertanyaan yang paling tepat diajukan tentu saja adalah ke mana arah reformasi TNI saat ini? Pertanyaan ini diwujudkan oleh Netray dengan memasukan kata kunci tersebut dalam upaya pemantauan.
Hasilnya terdapat 15 media massa yang mengangkat wacana ini dalam laporan mereka. Namun, jumlah pemberitaan masih sangat jauh dari signifikan, yaitu hingga 31 Agustus hanya ada 20 berita saja. Salah satu media yang membahas wacana reformasi adalah Tempo (gbr 12).
Namun, melihat tindakan Kasad Jenderal Andika Perkasa yang tegas menindak anggotanya yang bersalah, harapan akan berjalannya reformasi ini mungkin masih ada (gbr 13. Akan tetapi, bagi sejumlah pengamat melihat masih banyak celah dari peraturan perundang-undangan yang memberikan hak istimewa bagi anggota TNI sehingga mereka kerap bertindak melampaui hukum.
Pendekatan pra kejadian seperti ini yang seharusnya menjadi fokus TNI agar tidak terjadi peristiwa serupa suatu saat nanti, seperti yang diungkapkan oleh jubir Kompolnas yang menyebut bahwa anggota TNI sekarang memiliki jiwa korsa yang berlebihan. Hal ini tentu berhubungan dengan kurikulum indoktrinasi saat pendidikan (gbr 14).
gbr 13 gbr 14
Atau pendapat Hendardi dari Setara Institute yang melihat akar permasalah perilaku vigilante ini dikarenakan anggota TNI mendapat sistem persidangan yang berbeda kala melakukan pelanggaran. Menurutnya, jika memang anggota TNI melakukan kejahatan yang bersifat umum maka lebih baik mereka disidang melalui peradilan umum juga sehingga statusnya sama dengan warga sipil (gbr 15). Hendardi dengan nada pesimis juga menyebut jika peristiwa ini merupakan bukti kegagalan reformasi TNI (gbr 16).
gbr 15 gbr 16
Agaknya frasa ‘reformasi TNI’ saat ini sudah bukan menjadi mantra yang kuat untuk mengkerangkai kasus yang melibatkan aksi indisipliner atau ketidakprofesionalan prajurit Indonesia. Mereka yang melakukan tindakan tersebut dianggap sebagai penyimpangan semata dan hanya membutuhkan tindakan tegas pasca peristiwa. Tanpa melihat bahwa fenomena tersebut merupakan ekses sistemik dari mandeknya perubahan dari dalam TNI sendiri.